Banyak orang salah mengerti arti saham murah. Dalam artikel ini kita akan pahami berbagai cara pandang untuk menilai murah tidaknya saham.

Ada yang mengartikan saham murah artinya nilainya di bawah 1.000-an, jadi investor dengan modal cekak seperti kita mampu untuk membelinya. Kalau melihat saham-saham di arena LQ45 yang harganya di atas 1.000-an bahkan ada puluhan ribu, mereka mengira ini saham mahal, jangan coba-coba beli, kalau rugi bisa parah banget. Mereka melihat saham dengan harga 100-200 murah banget, mereka berpikir tak ada salahnya coba-coba, toh kalau rugi pun sedikit saja. Murah kan?

Apa benar arti saham murah seperti itu?

Saham adalah modal yang digunakan untuk membentuk perusahaan. Sifat saham adalah gotong royong, dana dari banyak entitas dikumpulkan menjadi satu, uangnya digunakan sebagai memulai sebuah usaha.

Contoh A: Lima orang sepakat mendirikan perusahaan mengumpulkan modal masing-masing 10 juta, jadi terkumpul 50 juta. Nilai uang 50 juta tersebut diwakilkan dalam saham perusahaan, dengan jumlah total saham 5000 lembar, maka nilai per lembar saham adalah Rp10.000. Dari uang masing-masing 10 juta rupiah tadi mereka mendapat 1.000 lembar saham.

Contoh B: Anggap saja ada skema sama lima orang mendirikan perusahaan dengan modal 50 juta, tapi jumlah lembar sahamnya lebih banyak, katakanlah 500.000 lembar, maka per lembar sahamnya dihargai Rp100.

Dalam kedua contoh tadi, jika ditanya, lebih murah mana saham dalam Contoh A atau Contoh B? Anda pasti tahu karena jumlah modal sama Rp50 juta, maka lembar saham dalam Contoh B jelas lebih murah.

Saham Perusahaan Publik

Perusahan publik pun demikian. Untuk mengetahui murahnya perusahaan harus dilihat dari nilai modalnya.

Agar lebih mudah memahaminya kita pahami dari cerita dua emiten di bawah ini:

Emiten A: jumlah lembar saham beredar 1.000.000.000 (satu milyar lembar), sahamnya ditawarkan seharga Rp100. Nilai modal awalnya Rp100 x 1.000.000.000 = Rp100 milyar rupiah.

Emiten B: jumlah lembar saham beredar 1.000.000.000 (satu milyar lembar), sahamnya ditawarkan seharga Rp200. Nilai modal awalnya Rp200 x 1.000.000.000 = Rp200 milyar rupiah.

Emiten C: jumlah lembar saham beredar 10.000.000.000 (sepuluh milyar lembar), sahamnya ditawarkan seharga Rp100. Nilai modal awalnya Rp100 x 10.000.000.000 = Rp1.000 milyar rupiah atau satu triliun rupiah.

Mana yang lebih murah dari ketiga contoh emiten di atas?

Membandingkan Emiten A dan Emiten B pasti mudah, karena jumlah saham beredar sama. Kita cuma perlu lihat harganya, dalam kasus ini Emiten A jelas lebih murah dibanding Emiten B. Investor pasti memilih saham A bila keduanya ditawarkan dalam kondisi ini.

Yang agak rumit membandingkan Emiten A dengan Emiten C, atau Emiten B dengan Emiten C. Lalu bagaimana cara menentukan mana saham yang lebih murah?

Nilai Buku

Ingat ke contoh pertama tadi, kita harus kembali ke angka modalnya. Dalam laporan keuangan nilai modal tercatat dalam laporan ekuitas. Saat awal perusahaan didirikan, ekuitas hanya berisi modal. Lalu ketika perusahaan memperoleh laba, maka laporan ekuitas akan ditambah saldo laba. Semakin lama perusahaan beroperasi dan semakin banyak laba yang ia peroleh, saldo laba ini akan semakin gemuk, maka nilai ekuitasnya akan bertambah. Begitu pula sebaliknya, jika perusahaan rugi, sudah bisa ditebak ekuitas bisa turun.

Untuk membandingkan antar emiten perusahaan terbuka, kita harus fokus kepada nilai ekuitas perusahaan. Nilai Ekuitas juga disebut sebagai Nilai Buku perusahaan.

Kembali ke kasus kita tadi, apakah Emiten A atau Emiten C yang lebih murah. Kita menghitungnya dengan menghitung nilai buku per lembar saham, rumusnya seperti di bawah:

Nilai Buku Emiten = Rp modal ÷ lembar saham
Dengan menggunakan rumus di atas kita bisa nilai buku untuk kasus ketiga emiten tadi. Kalkulasinya seperti di bawah ini:

Nilai Buku Per Lembar Saham Emiten A: Rp100.000.000.000 ÷ 1.000.000.000 = Rp100 per lembar saham

Nilai Buku Per Lembar Saham Emiten B: Rp200.000.000.000 ÷ 1.000.000.000 = Rp200 per lembar saham

Nilai Buku Per Lembar Saham Emiten C: Rp1.000.000.000.000 ÷ 10.000.000.000 = Rp100 per lembar saham

Dari kasus ketiga emiten ini, kondisi awalnya ternyata nilai buku emiten A sama dengan emiten C. Jadi Emiten B yang justru dijual lebih mahal.

Nilai Buku Bisa Bertambah dan Berkurang

Seiring waktu, selama perusahaan memproduksi barang dan jasa, nilai buku mereka bisa bertambah dan berkurang. Suatu perusahaan bagus nilai bukunya pasti bertambah. Jika nilai bukunya berkurang, berarti kinerja perusahaan makin buruk.

Peningkatan nilai buku adalah satu hal yang selalu diincar oleh investor pintar.

Kita kembali ke Emiten A, Emiten B, dan Emiten C. Biar ringkas pembahasannya, kita buat contoh untuk dua emiten saja, yaitu A dan B.

Anggap saja waktu bergerak beberapa puluh tahun. Kondisi perusahaan jadi seperti di bawah ini.

Emiten A:

  • Nilai buku Rp80.000.000.000 (80 milyar)
  • Nilai buku per lembar sahamnya = Rp80.000.000.000 ÷ 1.000.000.000 = Rp80
  • Harga saham terakhir Rp100
Emiten B:
  • Nilai buku Rp80.000.000.000
  • Nilai buku per lembar sahamnya = Rp2.200.000.000.000 ÷ 1.000.000.000 = Rp2.200
  • Harga saham terakhir Rp2.200
Dengan kondisi-kondisi terakhir ini, saham Emiten A senilai Rp100 vs saham Emiten B senilai Rp2.200, sebenarnya murah yang mana?

Tanpa melakukan kalkulasi, kita bisa tebak sebenarnya Emiten B lebih murah, bukan? Kita bisa tebak karena jumlah lembar saham kedua perusahaan ini sama.

Harga Saham Dibanding Nilai Bukunya

Ada metode untuk mengukur mana saham yang lebih murah dari dua perbandingan di atas. Metode ini dinamakan Price per Book Value Ratio (PBV) atau Rasio Harga Saham Dibandingkan Nilai Buku. PBV adalah membandingkan harga saham ke nilai buku per lembar sahamnya. Hasil PBV adalah skala berbentuk angka. Semakin kecil PBV maka dianggap lebih semakin murah.
Rumus PBV: Harga Saham ÷ Nilai Buku Per Saham
PBV Emiten A: 100 ÷ 80 = 1,25

PBV Emiten B: 2.200 ÷ 2.200 = 1

Saham yang dianggap lebih murah adalah yang nilai PBV-nya lebih kecil. Dari kedua contoh ini Emiten B dianggap lebih murah daripada Emiten A.

Kenapa dianggap lebih murah? Karena kenyataannya Emiten B bisa menumbuhkan modalnya (nilai bukunya) jauh lebih besar dibanding Emiten A. Hal itulah yang diukur dari Rasio PBV.

Harga saham dibanding nilai buku (PBV) bisa dipakai untuk mengukur murah tidaknya saham. Dari contoh di atas, saham seharga Rp2.200 per lember lebih murah dibanding saham yang harganya Rp100 per lembar. Jangan menilai murah tidaknya saham dari harganya saja. Ingat belum tentu emiten Rp100 lebih murah dari emiten Rp2.200!

Tapi saya tidak menyarankan memilih saham melalui murah tidaknya harga saham hanya dari perbandingan harga dan nilai buku saja. Ada banyak hal penting yang harus dipertimbangkan dalam membeli saham.

PBV Bukan Cara Satu-Satunya

Dalam praktiknya, murah dan tidaknya saham tidak melulu diukur dari PBV saja. Investor berkembang dengan membandingkan nilai kompetitif tiap-tiap perusahaan.

Ada kalanya PBV kecil, tapi emiten berada di sektor industri yang stagnan. Sementara ada emiten lain PBV-nya sudah tinggi, tapi emiten berada di sektor yang masih punya potensi pertumbuhan pesat. Dengan logika dibalik, sentimen investor saham berani mengganjar emiten tersebut dengan harga saham yang lebih tinggi karena berharap mereka ikut tumbuh bersama emiten itu.

Murah tidaknya saham juga bisa diukur dengan berbagai metode lain. Banyak sekali caranya, misalnya metode arus kas terdikon, metode arus pembayaran dividen, rasio PEG, dan mungkin banyak metode lainnya.

Wah, jadi bingung nih, lalu pakai yang mana?

Bisa saja investor pakai PBV sebagai saringan awal untuk menilai murah tidaknya saham. Dari situ ia menuju saringan lain semisal PEG, lalu arus kas terdiskon, dan seterusnya.

Silakan tiap investor pilih cara yang paling dia yakini serta mudah dipahaminya. Lalu terapkan cara itu dengan disiplin. Dengan cara ini investor mempunyai keyakinan yang mantap terhadap setiap keputusan investasinya.


Pemutakhiran 12 Maret 2017: hampir seluruh teks diubah dan dimutakhirkan dengan contoh baru untuk mempermudah pemahaman dan konteks artikel. Tujuan dan konteks artikel tidak diubah.


Diterbitkan: 13 Jun 2011Diperbarui: 9 Feb 2022