Pemutakhiran 10/2: Saya mengubah total redaksi dan tulisan ini agar lebih bisa dipahami. Saya sertakan studi kasus investasi saya. Semoga bermanfaat dan harap maklum atas koreksi ini!

Pemutakhiran 20/2: Terima kasih pada koreksi Sdr Asep, saya melakukan kesalahan dengan belum mengurangi hutang pada perhitungan studi kasus. Dalam tulisan ini sudah saya koreksi. Juga saya sertakan studi kasus komprehensif mulai dari PBV hingga net-nets.

Tulisan ini adalah tulisan akhir dari runtutan filosofi investasi setelah memilih perusahaan yang bagus, manajemen yang jujur dan berintegritas (serta kompeten), dan harga sahamnya yang sangat menarik.

Kalau biasa beli pisang barangan di area Jakarta, mungkin Anda tahu harga 1 (satu) sisir biasanya antara Rp20.000 hingga Rp25.000 (yang besar dan ranum). Itu harga wajar pisang jenis ini di Jakarta, kalau di daerah asalnya di Sumatera Utara, pasti harganya jauh lebih murah. Tapi kita bicara di Jakarta ya. Suatu saat, ada penjual baru di pasar yang menjual pisang jenis ini dalam ukuran besar (yang biasanya Rp25.000) kali ini dijual seharga Rp20.000. Ya, meski ada kekurangan, misalnya: buahnya belum begitu matang, harus nunggu besok atau lusa agar beberapa bulir buah bisa matang semuanya. Tentu saja saya langsung membelinya, pada harga tadi itu sudah sangat menarik, sudah diskon 20% dari harga wajarnya.

Dalam perumpamaan serupa itulah seyogyanya perilaku kita dalam mencari perusahaan yang akan kita beli sahamnya. Pertanyaannya, bagaimana harga saham yang sangat menarik itu? Seperti perumpamaan pisang di atas, bila ada perusahaan dijual pada diskon 20% dari harga wajarnya, maka perusahan itu mungkin sudah menarik. Tapi bila didiskon 30% tentu akan lebih menarik. Diskon 50% tentu sangat menarik. Diskon ini juga mempunyai arti lain yaitu membuka semakin lebarnya batas pengaman (margin of safety) dari risiko pembelian kita. Semakin lebar margin of safety yang kita punya maka kita akan lebih aman dari peluang dari kesalahan, peluang keuntungan juga akan semakin lebar.

Membeli sebuah bisnis adalah perumpamaan yang baik agar kita bisa sukses dalam investasi saham, karena memang begitulah kenyataan dan tujuan keikutsertaan investasi dalam saham. Graham sejak awal mengajarkan pandangan dasar ini, yang ironinya sudah sangat dilupakan oleh investor saat ini. Orang lebih suka menganggap saham adalah secarik kertas seperti lotere, yang kadang-kadang mereka berharap dapat keuntungan besar dari perubahan angkanya. Dengan memandang investasi saham adalah investasi pada bisnisnya, tugas kita adalah mencari bisnis senilai 1 Triliun yang dijual pada harga 500 miliar, atau separuhnya. Apa mungkin? Di pasar saham yang terbuka, hal ini sangat mungkin terjadi.

Oke, tapi bagaimana cara mencari harga saham yang menarik seperti itu? Tentu saja kita perlu riset agar lebih mengenali perusahaan. Kemudian kita harus melihat angka-angka di neraca, menghitungnya, dan secara kritis menilai bisnisnya dari laporan rugi-laba. Apakah bisnisnya benar-benar layak seperti yang ada di dalam neraca? Dan seterusnya.

Beberapa cara melihat apakah harga saham menarik bisa dibagi dalam daftar berikut:

  • Mencari nilai bersih dari nilai bersih perusahaan. Dalam istilah Graham hal ini disebut net-nets. Sayangnya perusahaan di jaman sekarang sangat susah mencari nilai perusahaan yang lebih rendah daripada netsnya, tapi kalau kita beruntung mungkin masih ada, seperti kasus saya pada Colorpak di bawah.
  • Ada juga yang melihat perbandingan harga dengan nilai buku, atau dikenal sebagai Price to Book Value (PBV). Ini mirip nets, tapi book value juga menyimpan aset-aset yang intangible, dimana kita perlu mengevaluasinya lagi.
  • Mencari harga wajarnya. Metodenya akan dijelaskan di bawah.
  • Melihat rasio Price (harga) terhadap Earning (EPS), dikenal sebagai P/E atau di Indonesia umumnya disebut sebagai PER. Rasio P/E di bawah 7 umumnya masih dianggap murah.
  • Peter Lynch mengenal metode sederhana yang disebut sebagai rasio PEG, intinya membandingkan rasio P/E terhadap pertumbuhan (Growth) perusahaan. Bila saham dihargai 7 kali pendapatan, padahal pendapat perusahaan tumbuh 14%, maka terdapat rasio PEG 7/14, atau 0.5. Rasio di bawah 1 dianggap sangat potensial dan murah. Rasio lebih kecil sangat murah.
  • Dan mungkin banyak rasio lainnya.

Menghitung Harga Wajar

Ada beberapa metode dan cara yang biasanya digunakan investor dalam menilai harga wajar saham. Tapi saya tak ingin membahas hal itu karena sudah banyak yang pernah membahasanya. Sebagai referensi yang bagus, Anda semua bisa membaca blog dari rekan Parahita yang sudah pernah membahasnya, berikut adalah dua metode valuasi saham yang biasa saya pakai, metode Graham dan DCF dari J.B. Williams:
  • Kriteria Pemilihan Saham Ala Ben Graham dan Formula Harga Wajar Saham Ala Ben Graham Dalam dua tulisan tersbeut, bisa dipelajari kriteria pemilihan saham menurut Ben Graham, dan kalau sudah paham bisa melihat Formulanya. Bagi saya, kriteria penyaringan ini penting, tapi sekali lagi mengingatkan, investasi itu seni. Kadangkala ada perusahaan yang melanggar kriteria ini, dan tentu saja tidak bakal masuk kalau kita menggunakan kriteria tadi. Padahal perusahaan tersebut bagus. Warren Buffett dalam pemilihan saham Coca Cola di era 80-an dulu  melanggar kriteria Graham karena aset perusahaan ini terbanyak adalah intangible, merk dan rahasia resep minumannya, yang bagi Graham tidak bisa diukur sebagaimana aset tangible (dan bagi Graham bahkan ada koreksi dan diskon untuk valuasi aset dengan berbagai kriteria dan syarat, agar valuasi lebih konservatif).
  • Bagaimana Cara Menentukan Harga Wajar Saham Ini adalah metode penghitungan harga wajar saham menggunakan teknik bernama arus kas terdiskon (discounted cash flow) yang dikenalkan oleh John Burr Williams. Silakan pelajari di halaman tersebut dan masukkan rumus ke Excel atau Numbers untuk menghitung harga wajar saham dari perusahaan pilihan.
Dengan mengetahui harga wajarnya, katakanlah pada awal 2010 ketika saya mulai membeli saham Colorpak saya menilai harga wajarnya sekitar Rp500, padahal dengan harga ini saja market capnya sekitar 153 M atau 27% dari nilai perusahaan. Maka kita anggap saja perhitungan ini benar dan aman. Pada harga 450 dibandingkan 500 maka kita masih punya diskon 19%. Tidak terlalu besar margin of safetynya, tapi kalau dibandingkan aset bersihnya, tentu harga ini sangat aman. Atas dasar inilah saya mengakumulasi saham CLPI pada beberapa bulan kemudian.

Studi Kasus

Sebagai studi kasus saya ingin membahas investasi saya di sebuah emiten pada 2010-2011. Saya mendapat keuntungan paling rendah 19% pada transaksi April 2011 dan paling tinggi 520% pada Agustus 2011. Itu semua dari akumulasi pembelian yang saya lakukan sejak November 2010 hingga Maret 2011. Keberuntungan? Mungkin saja. Tapi saya juga melihat nilai bisnisnya. Berikut adalah studi kasus emiten tersebut.

Laporan Aset

(1) Kas dan Bank9.435
(2) Persediaan82.424
(3) Total Aset Lancar227.819
(4) Total Aset Tidak Lancar47.571
(5) JUMLAH ASET275.390
Laporan Kewajiban
(6) Kewajiban Lancar123.450
(7) Kewajiban Tidak Lancar17.429
(8) Total Kewajiban140.892
(9) Ekuitas134.499
Data dan analisa:
    • Posisi November 2010 (sumber laporan keuangan 2009):
      • Harga saham Rp450
      • EPS = Rp101
      • P/E = 4,45
      • Book Value = Rp376 (untuk tahun buku 2009)
      • PBV = 376/439 = 1,1
    • Posisi Maret 2011 (sumber laporan keuangan 2010):
      • Harga saham Rp340
      • EPS = Rp93 (ada penurunan karena pendirian pabrik baru)
      • P/E = 3,6
      • Book Value = Rp439 (untuk tahun buku 2010)
      • PBV = 34/439 = 0,77
Dari analisa PBV terlihat masih menarik pada November 2010, pada awal saya membeli saham. Pada Maret, akhir akumulasi saya, harga sahamnya sangat menarik. P/E atau PER rendah. PBV menarik.

Setelah itu mari kita cari net-nets, seandainya terjadi likuidasi, apa aset yang tersisa untuk pemegang saham:

  • Seandainya terjadi likuidasi, mari kita cari nilai bersih seluruh aset kita. Ini hanya analogi, rinciannya berikut:
    • (1) kas akan berupa kas, nilainya sama = (1) 9,4 M
    • (2) karena sifat produk CLPI adalah bahan dasar, kita buat asumsi nilai likuidasi adalah 50% dari nilai awal = 50% x (2) 82M = 41M. Menurut pandangan umum sih bahan dasar biasanya bisa 75% dari nilai asal, tapi buat perhitungan studi kasus kita turunkan saja jadi 50%.
    • (3) Aset lancar bentuknya piutang, maka kita anggap pembayaran akan lancar sebagian, misalnya 90% dari seluruh piutang, maka nilainya = 90% x (3) 227,8 M = 205 M.
    • (4) Aset tidak lancar kita anggap tetap saja, karena nilai aset tidak lancar (properti dan bangunan) biasanya cenderung malah naik = (4) 47,5
    • (10) Total aset bersih saat likuidasi = (1) + (2) + (3) + (4) = 302,9 M
    • Nilai Ekuitas bersih, total aset likuidasi - jumlah seluruh kewajiban = (10) 302,9 - (8)140,8 M = 162,1 M
  • 162,1 M inilah aset yang tersisa bagi pemegang saham bila perusahaan dilikuidasi. Sementara itu market cap pada harga 340 di akhir Maret 2011 nilainya adalah 104 M, atau hanya 60% dari net-nets. Terlihat saham dihargai murah sekali.
Dari analisa harga wajar saham menggunakan metode arus kas terdiskon, pada akhir 2010 saya memperkirakan harga wajar sahamnya Rp500,-. Ternyata setelah saya hitung ulang pada hari ini, dengan growth konservatif maka harga wajarnya pada kisaran Rp900 per saham. Duh, bedanya kok banyak ya :) Pada awal 2011 dengan menggunakan data tahun buku 2010, setelah saya hitung ulang harga wajar sahamnya pada kisaran Rp1.040 per saham. Jadi pada harga Rp340 tentu masih terasa sangat murah.

Pada saat tulisan ini terbit harga sahamnya dijual pada kisaran Rp1.470 per saham, atau market cap senilai 419 M, atau 4x nilai aset bersih hasil likuidasi tadi, atau merujuk pada valuasi terakhir di atas sudah agak mahal 41%.

Pelajaran: Pada masa awal investasi saya memang masih belajar. Saya berusaha meraba hal-hal baik dan sangat beruntung menemukan CLPI yang ternyata sedang dihargai sangat murah oleh pasar. Beruntung pula saya mempercayai angka dan data, juga insting saya, sehingga saya bisa akumulasi jumlah saham meski harganya sempat turun beberapa bulan.

Jebakan Valuasi

Itu tadi kita mengenal berbagai metode dan teknik mengenali apakah harga saham masih sangat menarik. Kalau demikian, bila semua orang sudah tahu metode-metode ini, bagaimana harapan kita bisa berhasil dalam investasi? Kalau semua orang sudah tahu harga wajar pisang barangan, maka penjual pun tak mungkin menjual di atas harga wajar, logikanya kan demikian. Kalau semua orang sudah tahu harga wajar saham Unilever, misalnya, kenapa ada orang yang masih membelinya di harga yang overvalued? Kalau semau orang bisa melihat rasio P/E masih rendah, kenapa tidak ada yang membeli sahamnya?

Dari sinilah kita tahu kenapa beberapa tokoh investor selalu menyebut bahwa investasi itu seni. Biarpun ada teknik kalkulasi matematis yang sudah ada sejak lama, tapi mau tak mau kita harus bisa berpikir seperti seorang seniman dalam berinvestasi saham. Kalau kita hanya berpegangan pada teknik matematis, tentu akan susah mengharap keuntungan 500% misalnya, padahal harga saham sudah melampaui harga wajarnya, yang otomatis mengharuskan kita secara logis untuk menjual saham tersebut. Begitu juga sebaliknya, kalau secara matematis sebuah perusahaan punya rasio hutang agak tinggi, maka hal itu akan menghalangi kita karena perusahaan ini tak akan masuk dalam kriteria investasi yang tidak aman. Di sinilah tugas penilaian secara subyektif agar valuasi dan pilihan investasi kita lebih berhasil.

Sekali lagi, penilaian atau valuasi harga wajar saham itu sifatnya subyektif, seperti juga perilaku kita menilai harga pisang barangan Rp20.000 itu wajar di area Jakarta tapi tidak wajar di Medan, misalnya. Variabel dalam valuasi itu banyak. Tipikal investor dalam penilaian juga penting, apakah ia ingin konservatif atau ingin realistis. Belum lagi masalah proyeksi yang bersifat ramalan, karena kita berhadapan dengan banyak hal: sikap/perilaku manajemen, kondisi ekonomi nasional, kondisi pasar global, kondisi fiskal negara, dst. Semua variabel ini bisa mempengaruhi kinerja perusahaan. Kegigihan investor dalam menelisik data dan angka juga diperlukan agar bisa menjawab rasa penasaran bila ia khawatir keputusan investasinya salah.

Beberapa waktu terakhir, saya biasanya melakukan valuasi sebagai langkah awal penyaringan saham. Bila harga saham masih menarik (belum masuk sangat menarik), maka saya akan meluangkan waktu untuk meriset perusahaan. Langkah ini saya ambil agar saya tidak membuang banyak waktu karena toh sia-sia saya menghabiskan waktu untuk riset sementara saya tak mungkin membeli saham karena harganya sudah overvalued. Tapi kenapa saya baru membahas valuasi kali ini karena bagi saya valuasi adalah teknik terakhir yang sangat tidak penting. Semua orang pasti sudah bisa membacanya. Semua orang bisa mendapatkan rumusnya. Bahkan di negara seperti Amerika Serikat, beberapa sumber informasi saham gratis sudah mencantumkan harga valuasi sahamnya.

Valuasi itu penting sebagai tahap awal dalam penyaringan saham, tapi hanya memegang valuasi saja sebagai arah dan visi investasi tentu bisa salah. Model investor semacam ini mungkin mirip Graham jaman dulu yang semakin ditinggalkan oleh investor saat ini karena investor semakin melihat pentingnya manajemen, sementara Graham anti mengunjungi perusahaan (sebagai contoh). Sebagai gambaran: Ben Graham mencapai return tahunan 17% dalam sejarah karir investasinya, bandingkan dengan return murid besarnya Warren Buffett dengan rata-rata pengembalian investasinya adalah 22% setahun. Atau kita bandingkan dengan gaya Lynch (meski bukan murid Graham, tapi metodenya tentu mirip) yang lebih mementingkan ke produk (serta franchise) dan manajemen, dengan return tahunannya yang 29%.

Semoga Anda tidak bingung lagi dalam mencari harga saham yang masih menarik. Selamat berinvestasi ya!


Diterbitkan: 9 Feb 2012Diperbarui: 9 Feb 2022