Catatan: Ini ada serial belajar investasi yang akan saya sajikan secara berturut mulai hari ini. Semoga bermanfaat!

Sejak kecil, saya selalu diajarkan menabung oleh orang tua dan juga nenek. Dulu, kami membawa buku kecil seukuran paspor yang bertuliskan Tabungan dengan nama kami masing-masing. Tiap hari kami akan bawa buku ini ke sekolah bersama sejumlah uang. Saya lupa berapa uang yang saya bawa saat itu. Saat saya SD kelas 1, kalau tak salah uang saku saya adalah Rp25. Rp5 bisa dapat kerupuk. Sangat meriah. Kalau tak salah saya menabung sekitar Rp25 juga, atau lebih. Entahlah. Yang jelas, dengan dipaksa membawa uang hampir setiap hari itulah, sedikit demi sedikit bisa terkumpul banyak uang, lalu uang itu kita ambil ketika kenaikan kelas.

Senang sekali rasanya mempunyai uang lebih banyak daripada biasanya. Kadangkala uang tabungan cukup untuk membeli sebuah sepeda baru, tentu dengan tambahan dana dari orang tua. Kadangkala hanya beli tas, atau sepatu baru. Itulah kehidupan SD. Itulah cara menabung jaman dulu. Cara menabung yang sederhana dan kurang canggih.

Semenjak SMP saya mengenal tabungan di BRI. Begitu pula saat SMA, saya mencoba yang namanya ATM di sebuah kantor cabang BCA terdekat. Sangat bangga dan kagum ada sebuah kartu yang bisa mengeluarkan uang.

Dari cerita-cerita tadi, saya termasuk orang yang tidak gagap memanfaatkan fasilitas perbankan. Tetapi apakah ketidakgagapan tersebut termasuk dalam instrumen investasi yang baik dan cukup, entahlah. Saya rasa tidak. Orang-orang dekat saya selalu menyarankan untuk menabung, dan menabung. Tapi mungkin karena gaya hidup yang hedonis, yaitu terlalu menghambur-hamburkan uang untuk membeli buku dan nonton bioskop, tabungan saya tidak banyak.

Kalau dipikir, entah kenapa saya enggan (atau takut?) berkenalan dengan berbagai produk investasi di perbankan. Ikuti saja cerita berikut. Saya tahu produk bernama deposito dari seorang teman SMA, ia bercerita punya deposito, tabungan yang diatur oleh ayahnya. Saya tahu deposito itu lebih menguntungkan (bunganya) daripada tabungan, tapi entah mengapa saya tidak pernah tanya-tanya produk ini ke bank. Mungkin juga karena tidak ada keluarga yang berkenalan dengan produk perbankan canggih ini? Atau saya takut karena tidak membayangkan perlu uang berapa banyak untuk membuak produk ini, padahal uang saya juga terbatas. Mungkin itu alasannya.

Baiklah, mari kita beranjak ke masa yang tidak jauh, beberapa tahun lalu, tepatnya pada 2007/2008. Akhirnya saya merasa cukup membaca berbagai referensi dan buku, saya tahu sebuah produk perbankan bernama reksadana. Saya juga tidak takut lagi bertanya-tanya kepada bank, hanya sekadar untuk mengetahui produk-produk apa yang bisa saya manfaatkan untuk investasi. Saya sungguh menyesal kenapa saya tidak tahu ada produk investasi seperti reksadana itu sejak dulu. Bila saya mengenalnya sejak saya mulai bekerja pada awal 2000-an, tentu investasi saya akan banyak.

Sejak 2007 itulah saya mulai belajar tentang investasi, dengan melalui naik dan turunnya berbagai investasi. Mulai dari deposito, reksadana, obligasi negara (ORI), dan sekarang saham. Saya pernah memanfaatkan semua media investasi tersebut tanpa takut, dan tanpa ragu lagi melangkah.

Tujuan saya bercerita kilas balik investasi saya di atas bukan hanya nostalgia. Saya membuat blog ini untuk membagikan apa yang saya ketahui kepada pembaca agar bisa bermanfaat. Selain juga agar saya bisa belajar dari apa yang pembaca ketahui.

Dalam tulisan berikutnya saya akan mengajak untuk belajar investasi dengan mengenal instrumen investasi.


Diterbitkan: 14 May 2011Diperbarui: 9 Feb 2022