Katanya nih, utang bikin semangat bekerja. Jika tidak utang tak mungkin bisa memiliki. Di pasar saham ada yang berpendapat tanpa margin maka tidak mungkin bisa untung besar. Benarkah begitu?

Apa yang Dicari dari Utang?

Apa yang dicari dari berutang? Uangnya? Ataukah, sisi psikologinya, jika saya boleh sebut tekanannya?

Jika yang dicari adalah uangnya, sebenarnya ada dua cara mengumpulkan uang untuk memiliki sesuatu: dengan menabung atau berutang. Menabung adalah membeli barang di masa depan. Berutang adalah membeli masa depan di masa sekarang.

Jika yang dicari adalah tekanan atau sifat paksaan agar bisa menabung, sesungguhnya juga bisa dibalik situasinya. Berarti ada masalah dalam kedisiplinan seseorang dan komitmennya untuk menabung. Jika demikian, kenapa mencari semangat dari utang? Apakah senyum anak, semangat istri, masa depan keluarga tak cukup menjadi penyemangat untuk bekerja setiap hari?

Bagaimana jika ada yang hobinya berutang? Tekanan bertumpuk hingga puluhan tahun. Saya susah membayangkannya. Ada beberapa orang yang memang hobi utang dan hidupnya tak pernah tenang. Rumah dijual menutup tumpukan utang di bank dan juga utang ke orang lain. Ada yang hobi beli kendaraan utang, setelah lunas dijual, lalu utang lagi. Bahkan ada yang berkutat dalam siklus yang sama. Hingga bertahun-tahun. Hingga mereka tua.

Saya tidak anti utang. Tapi jika dengan utang produktif seseorang atau sebuah usaha bisa meningkatkan produksinya dan menghasilkan arus kas yang cukup untuk membayar biaya bunga serta menghasilkan laba, silakan saja. Ingat juga rasio-rasio utang yang baik dan disiplin dengan arus kas dan efisiensi usaha.

Kebanyakan orang menganggap utang adalah uang bebas, padahal utang ya tetap mengambil uang dari pihak lain, yang harus dibayar dengan bunga.

Ada pepatah atau lelucon, utang kecil Anda yang pusing, utang besar bank yang pusing.

Bersyukurlah orang yang bisa terbebas dari utang.

Bagaimana dengan utang dalam investasi saham?

Keuntungan investasi dari modal Rp10 juta dan Rp100 juta pasti berbeda. Dilihat dari langit pun pasti tahu hasil investasinya berbeda, jika kita bicara angka. Tapi jika bicara persentasi, keduanya harus dilihat sama. Benar-benar sama.

Bahkan, secara teori, semakin besar nilai modal maka ia akan semakin sulit mencari keuntungan lebih besar.

Seseorang membuka lapak makanan/minuman bermodal Rp100 ribu. Jika dia bisa membawa pulang setiap hari Rp20 ribu setelah dipotong biaya pokok penjualan, jadi sebulan Rp600 ribu. Keuntungan 500%/bulan.

Seseorang bermodal Rp100 juta di pasar saham pun akan sangat susah mencari keuntungan 500%.

Transaksi Margin

Bagaimana dengan transaksi memakai dana margin? Ya, margin juga utang, bunganya sebesar variatif tergantung pialang masing-masing.

Jika seseorang punya modal Rp100 juta, katakanlah seseorang bisa mendapat dana margin hingga bisa transaksi total Rp300 juta. Jika ia bisa menghasilkan untung Rp15 juta atau 5% dari total dana marginnya, maka ia bisa mengumpulkan keuntungan kotor 15% sebulan. Manis sekali rasanya, ya? Itu juga pasar bergerak ke arah yang tepat, ke arah naik.

Jika pasar bergerak turun, maka seandainya orang itu sudah bisa bertransaksi Rp345 juta (tiga kali dari Rp115 juta), lalu ia mengalami rugi 5% atau Rp17,25 juta. Ia sudah rugi Rp2,25 juta rupiah, atau 2,25% dari modal awalnya.

Padahal dalam dunia nyata kerugian bisa terjadi berkali-kali. Persentase rugi bisa lebih besar dari 5%. Jika seseorang tak disiplin menjaga transaksinya, kerugian lebih besar bisa terjadi.

Saya tak berani membuat skenario lebih besar lagi karena saya tak punya pengalaman dengan rekening margin. Jika ada yang bisa menambahkan, atau jika saya salah, saya tentu senang mendengar cerita menggembirakan dari Anda di kolom komentar.

Transaksi Saham Dengan Modal Utang

Ada anggapan jika seseorang bisa cari modal murah dengan bunga 7%, 9%, atau 12% per tahun. Sementara pasar modal bisa menawarkan keuntungan lebih besar dari itu. Selisih 3% saja berarti bisa dianggap keuntungan tanpa modal.

Secara teori memang benar. Secara kalkulasi ada benarnya. Tapi kenyataannya, ketika kita berutang, kita dalam tekanan.

Saya ragu ada yang bisa mencapai hasil maksimal dengan cara ini karena cara ini juga lebih mengandalkan spekulasi bahwa pasar akan selalu bergerak naik. Jika pasar stagnan atau turun, maka seseorang yang mengambil cara seperti ini akan cepat panik dan ia membukukan kerugian lebih besar.

Tekanan Utang Dalam Investasi Saham

Jika berutang, tekanan akan bertambah, yaitu tekanan untuk menghasilkan keuntungan atau menghindari kerugian lebih besar.

Dua hambatan psikologis ini akan berakibat fatal pada kinerja investasi seseroang.

Ketika dalam tekanan untuk secara konsisten menghasilkan keuntungan selisih sekian persen agar menutup bunga utang kita, maka kita semakin menjauh dari potensi keuntungan yang terjadi seandainya skenarionya tidak berutang.

Jika punya utang dengan bunga 7%, seketika investasi kita sudah menghasilkan 10% maka kita buru-buru menjualnya. Padahal saham tersebut masih bisa bergerak lebih besar lagi sampai 20% misalnya. Sudah hilang peluang 10% keuntungan. Itu jika pasar naik.

Jika pasar turun, ceritanya lebih sadis lagi. Turun 5% langsung buru-buru lepas saham tersebut. Mau gimana lagi, daripada rugi lebih banyak. Tapi kemudian ada banyak cerita harga sahamnya naik hingga +10%. Ia sudah rugi 5%.

Juga sama dengan dana margin, keuntungan dari utang akan terhapus cepat oleh kerugiannya.

Tekanan karena utang punya akibat fatal.

Skenario Tanpa Utang

Padahal pasar saham menawarkan sebuah skenario alternatif bahwa kerugian bisa tidak terealiasasi, asalkan seseorang belum menjual investasinya jika keadaannya sedang minus. Tak ada kerugian yang terjadi.

Bagaimana tidak menjual jika minus -40%, bagaimana kalau minus makin besar? Jika Anda membeli sebuah saham perusahaan bobrok, sebenarnya yang patut disalahkan adalah keputusan membeli saham itu dari awal.

Kita balik pertanyaannya, jika keuangan perusahaan masih kokoh, apa mungkin ia tutup usaha? Jika, katakanlah laba sedang turun, apakah perusahaan akan dibubarkan? Jika perusahaan konsisten membagi dividen setiap tahun sebesar 30% dari laba, atau 2% dari harga sahamnya, katakanlah setelah 5 tahun maka kita bisa dapat 10%, lumayan kan? Apa yang terjadi setelah 5 tahun? Bisa jadi sahamnya sudah balik arah lagi dan jadi positif. Jika kita sudah memilih saham perusahaan itu hati-hati dari awal bahwa keuangannya kuat, usahanya cukup bertahan di berbagai masa (dengan sedikit gejolak yang bisa diantisipasi), kinerjanya juga cukup bagus, ada arus kas dari dividen, lalu kenapa juga harus panik? Apalagi jika dana yang kita pakai tidak dari utang. Ya, dibiarkan saja juga tidak masalah.

Utang versus Tidak Utang

Berinvestasi dengan dana dari utang adalah menambah kompleksitas masalah.

Berinvestasi tanpa utang adalah hal sederhana seperti mempunyai perusahaan yang menguntungkan (dan kita lupa dengan sahamnya!)

Sesederhana itu.


Diterbitkan: 2 Sep 2017Diperbarui: 18 Feb 2022