Ini adalah lanjutan dari seri pertama tulisan ini, Uang Elektronik (1): Pro Kontra Aturan BI dan Masa Transaksi Keuangan. Artikel ini akan membahas model bisnis uang elektronik, potensi dana mengapung, dan pangsa pasar uang elektronik di Indonesia.

Model Bisnis Industri Uang Elektronik

Bisnis uang elektronik adalah jenis operasi middle-man atau perantara.

Industri uang elektronik berdiri di antara konsumen dan penjual jasa atau produk. Dari setiap transaksi antara produsen dan konsumen, produsen dengan pelaku uang-e non GPN, atau sebaliknya, di situlah industri elektronik mendapat keuntungan.

Menurut pengamatan kami, potensi pendapatan industri uang elektronik dari konsumen bisa diperoleh melalui beberapa cara:

  • transaksi keuangan;
  • transfer (top up, penarikan);
  • dana parkir, floating fund;
  • akuisisi uang elektronik baru.
Pemain industri juga bisa terjadi potensi pendapatan, seperti berikut:
  • switching atau pemrosesan transaksi;
  • pengaturan dana;
  • akuisisi merchant uang elektronik;
  • antara-pelaku bisnis uang elektronik (B2B) lainnya, dan juga penyedia uang elektronik non GPN atau pengelola uang elektronik di luar (seperti disebutkan di aturan BI).
Dari dua potensi pendapatan yang dimungkinkan, atau konsep usaha middle-man uang elektronik secara, dua hal utama yang menjadi penentu pertumbuhan industri uang elektronik adalah: penetrasi pasar dan volume transaksi. Berbicara volume kita bicara jumlah transaksi dan nominalnya.

Penetrasi pasar artinya adopsi pemakaian sistem uang elektronik. Semakin banyak loket memakai uang elektronik, maka pangsa pasar akan semakin besar. Jika adopsi titik pembayaran makin luas, konsumen juga bakal gembira menyambut pemakaian uang elektronik. Dengan adopsi konsumen yang makin banyak, perputaran dana yang terjadi makin besar, transaksi yang terjadi juga bakal meningkat.

Namun dua hal ini seperti dilema telur dan ayam. Mana yang bisa dicapai dulu? Di situ para pelaku uang elektronik harus membuat keputusan cerdas.

Potensi Dana Mengapung

Dana mengapung (floating fund) di uang elektronik adalah dana murah dengan biaya bunga nol persen. Setiap dana yang diisi konsumen ke kartu uang elektronik mereka tidak langsung terpakai. Dana tersebut parkir manis, tidak perlu biaya untuk mendapatkannya (kecuali investasi awal uang elektronik).

Di sini lah menariknya peluang industri uang elektronik.

Dana mengapung tentu bisa dikelola, misalnya untuk diputar ulang, atau jika dalam skema tertentu bisa dicapai persentase dana mengapung yang aman, penerbit bisa memutarnya untuk investasi. Di sini BI harus mengawasi bagaimana pula skema dana mengapung.

Menurut BCA, per akhir September 2017, mereka melaporkan dana mengapung sekitar Rp200 miliar. Sementara itu BCA mengalokasi investasi sebesar Rp80 miliar per tahun untuk uang elektronik mereka, Flazz. Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja bahkan mengaku masih nombok karena jika  memanfaatkan dana mengapung dan mendapatkan sebaran untung 6%, mereka dapat Rp15 miliar, masih kurang Rp65 miliar. (Kita akan kembali menengok angka-angka ini nanti)

Hitung-hitungan tersebut benar. Tapi yang dipandang adalah kondisi pasar saat ini. Juga saat aturan yang menyatukan industri uang elektronik belum terbit. Jika situasi berbeda, jika adopsi lebih besar atau mendekati transaksi keuangan uang kas, data yang dibicarakan tentu akan sangat jauh berbeda.

Pangsa Pasar Uang Elektronik di Indonesia

Jumlah akun/instrumen: dari data BI, per Agustus 2017, jumlah uang elektronik yang beredar sejumlah 68,84 juta instrumen.

Jumlah transaksinya: dari data BI, pada 2010, jumlah transaksi uang elektronik terjadi sebesar 26,5 juta transaksi, bandingkan dengan transaksi selama setahun terakhir dari September 2016-Agustus 2017 sejumlah 744,3 juta transaksi (CAGR 51,70%).

Nominal total transaksi uang elektronik per 2010 tercatat sejumlah Rp693 miliar, bandingkan dengan nominal selama setahun terakhir (September 2016-Agustus 2017) transaksi uang elektronik terjadi  sebesar total Rp9,3 triliun (CAGR 38,52%).

Kita bandingkan data di atas dengan data pengguna internet di Indonesia: menurut laporan DailySocial, pengguna internet di Indonesia per akhir 2016 berdasarkan data APJII telah melampau 132 juta pengguna. Sementara itu pengguna ponsel tercatat 326 juta pengguna. Dari data ini, adopsi rekening keuangan hanya sekitar 36% dari orang dewasa di Indonesia (yang telah punya akun di institusi keuangan). Pangsa kredit dibanding GDP juga masih rendah, sekitar 34,77%. Secara umum pasar Indonesia masih tumbuh.

Potensi uang elektronik masih menarik. Apalagi adopsi pemakaian uang elektronik saat ini masih terbatas di merchant besar (seperti Gramedia), atau juga penyedia layanan massal seperti: jalan tol, kereta api, bus way, dan jaringan retail/jasa besar. Saya kira tingkat pertumbuhan di masa awal ini bakal cukup besar dan menarik, mengikuti kurva pertumbuhan industri yang biasanya menjulang pesat di tengah.

Besarnya pasar bisa jadi peluang, tapi juga bisa menjadi tantangan.

 

Bersambung: Uang Elektronik (3): Kondisi di Luar Negeri, Model Uang, Bersatunya Standar atau Ego Sendiri?

Catatan: Saya akan selalu memutakhirkan artikel ini untuk mengkoreksi ejaan dan data, jika diperlukan. Artikel ini pecahan bagian dari artikel lengkap pada versi terbitan sebelumnya.

Saya mengharapkan kritik, saran, dan pendapat dari pelanggan/member, tentang artikel ini atau bila ada ide topik yang ingin dibahas, silakan kirim pesan lewat email ke info@bolasalju.com atau melalui laman kontak. Terima kasih.


Diterbitkan: 5 Oct 2017Diperbarui: 18 Feb 2022