Ini adalah wawancara kami dengan Pak Winston Sual (Direktur PT Panin Asset Management dan Ketua Tim Investasi Reksadana Panin Dana Maksima) soal evolusi paradigma investasi, pentingnya AI dan big data, keputusan investasi terbaik, daya tarik mid/small cap, cerita dalam pengelolaan dana, berurusan dengan nasabah, dan pentingnya literasi investasi.


Pembaca tunduk pada Disclaimer dan dianggap menyetujui pernyataan ini dan mengikat. Kinerja masa lalu tidak menjamin kinerja di masa mendatang. Segala isi wawancara bukan merupakan saran investasi.

Disclaimer tambahan: Saat wawancara dan pemuatan transkrip/podcast, penulis tidak mempunyai investasi di reksadana Panin Dana Maksima (PDM) serta tidak berencana investasi di PDM hingga 3 hari kerja ke depan.

Hak Cipta ©2019 Bolasalju (Arif R. Widianto)
Lisensi penggunaan materi ini adalah untuk perorangan atau pribadi pelanggan. Dilarang menyebarkan dokumen ini dalam bentuk apa pun, digital, cetak, presentasi, suara, melalui media apa pun.


Ikuti Podcast Bolasalju di Spotify atau Apple Podcasts.

Pengantar

Setelah mengudara 11 bulan lebih, podcast Investor Cerdas sudah diikuti sekitar 5.000 follower di Spotify. Ini belum termasuk di Apple Podcasts dan Google Podcasts.

Untuk kesempatan spesial ini, di episode yang ke-46 ini, pada 26 Agustus 2019 lalu kami mendapatkan waktu dan kesempatan yang sangat istimewa untuk mewawancarai seorang petinggi di sebuah perusahaan manajemen investasi dengan aset total Rp12 triliun (Agustus 2019). Beliau adalah seorang fund manager yang secara terbuka mengaku menganut paradigma value investing dalam operasi investasinya. Reksadana yang beliau kelola menghasilkan kinerja paling fenomenal di Indonesia. Selama 22 tahun beroperasi reksadana ini menghasilkan kinerja 7.900% lebih atau 80 puluh kali lipat (CAGR 21,95% YoY).

Inilah wawancara Arif Widianto (pendiri Bolasalju.com) bersama Pak Winston S.A. Sual, Direktur PT Panin Asset Management dan juga Ketua Tim Investasi di Reksadana Panin Dana Maksima.


Wawancara dengan Pak Winston Sual

Terima kasih atas kesempatan kepada Bolasalju sehingga bisa mewawancarai Pak Winston. Sebelumnya, saya ucapkan selamat kepada Panin Asset Management dan khususnya tim investasi yang Bapak pimpin karena meraih kinerja fenomenal, terutama Panin Dana Maksima. Bagaimana rahasia atau fokus sehingga bisa mencapai itu semua dan bagaimana strategi ke depan?

Sebenarnya sih nggak ada rahasia. Kita sederhana saja. Kita taat akan filosofi investasi kita. Karena kita sadar untuk investasi ini untuk jangka panjang. Maraton. Kita tidak akan selalu outperform pasar. Keberhasilan kita bukan hanya dari satu dua keputusan investasi tapi merupakan akumulasi banyak keputusan investasi yang benar. Sehingga kita terus menerus taat terhadap filosofi investasi kita.

Kita punya filosofi investasi pertama-tama kita itu prudent artinya berhati-hati. Tapi bukan sekadar berhati-hati tapi kita juga mengerti sebenarnya setiap keputusan investasi itu ada risikonya. Kita harus memahami risiko yang (ada) di belakang setiap keputusan investasi. Bukan cuma cukup sampai situ, kita juga harus siap risiko yang mungkin kecil itu akan jadi kenyataan. Selalu harus ada ruang untuk kesalahan. Kita tidak selalu benar. Apabila kita berbuat kesalahan jangan istilahnya kita tidak bisa apa-apa lagi, tergeletak, tetapi kita tetap bisa survive.

Yang kedua, kita disiplin. Artinya, kalau seperti sekarang banyak news/berita, tentang krisis dan lain-lain, kadang orang kehilangan orientasi. Nah kita harus disiplin terhadap pertama fokus/orientasi kita ke mana, disiplin terhadap tujuan, dan setiap keputusan investasi yang kita lakukan harus berdasarkan hal yang rasional, tidak terpengaruh oleh greed atau fear. Kita harus disiplin dan konsisten.

Lalu yang ketiga, kita punya filosofi investasi adalah value. Nah value itu kita melihat yang pertama-tama kita harus punya expertise. Kita bisa create value. Semua value yang ada, yang kita create, kita akan deliver kepada nasabah.

Nah itu prinsip dasar dari filosofi investasi kita. Mungkin dari waktu ke waktu, kalau dikatakan strategi ke depan, mungkin strategi sesaat bisa berubah-ubah. Tetapi filosofi investasinya tetap sama. Nah kemudian ada penekanan ke values.

Terima kasih pak Winston. Jadi sepertinya filosofi Bapak mulai dari prudent, risiko, disiplin, dan kemudian orientasi jangka panjang—kemudian dilihat dari Panin Dana Maksima dan secara global Panin Asset Management—itu semua memang value fund. Saya juga baca di website, dari wawancara Pak Winston, di SCMP, Panin AM vokal sekali dengan value, bahkan ada statemen yang unik “pasar modal Indonesia belum sepenuhnya efisien”. Karena mayoritas tidak berkata seperti itu. Apa strategi value ini didukung oleh semua stakeholder?

Ya, sebenarnya sih ya memang ada unsur culture dari Panin. Mereka selalu lihat values. Tapi juga dalam pengelolaan kita sendiri, kita memang menekankan kepada strategi values. Walaupun memang kita sadar bahwa value style itu tidak akan selalu outperform. Tidak akan selalu. Tetapi, kita tetap committed, karena kita lihat berjalannya waktu semakin sedikit asset management di Indonesia yang memiliki suatu style value. Malah sekarang ada kecenderung, tidak hanya di Indonesia ya di seluruh dunia, ada kecenderungan untuk indexing (baca: mengikuti indeks).

Nah kita malah dalam kondisi seperti itu kita tetap menekankan kepada values walaupun bukan berarti semua porto kita harus values, tetapi beberapa prinsip dari values tetap kita pertahankan.

Saya pernah dengar, ada tim lain, katanya strateginya value, kemudian stakeholdernya tidak mendukung, akhirnya fund managementnya nggak bisa. Kalau di Panin Sekuritas dan Panin AM ini semua satu visi ya pak?

WS: Oke, sebagai perusahaan yang harus meng-generate profit. Kadang di satu periode values itu nggak jalan. Tapi yang kita lakukan adalah bukan mengubah dari Panin Dana Maksima menjadi macam-macam, tetapi kalau kita lihat berjalannya waktu, kita sering mengeluarkan reksadana-reksadana baru yang sesuai untuk tema pasar yang sifatnya lebih jangka pendek. Misalnya saat 2007 yang lalu, kita mengeluarkan Panin Dana Prima. Itu kenapa? Karena pada waktu itu value nggak jalan. Yang jalan adalah growth dan momentum. Daripada kita ubah Panin Dana Maksima, oke ini kita keluarkan values namun kita tambahkan porsi growth dan momentum yang lebih besar.

Kemudian misalnya akhir-akhir ini, semua kan menuju indexing. Dan memang keadaan sekarang ada unsur ketakutan mau krisis. Sehingga orang cenderung orang mau melakukan asset allocation dalam pengertian kadang-kadang masih di saham dan secara opportunistic pindah ke cash level. Untuk itu kita keluarkan reksadana baru yaitu reksadana indeks dan ETF. Soalnya kita juga sadar bahwa investor-investor kita tidak semua value. Sehingga, oke lah kita memberikan mereka ETF dan indeks. Perusahaan juga harus meningkatkan AUM-nya, istilahnya. Tapi bukan mengubah reksadana aktif kita seperti Panin Dana Maksima untuk diarahkan investment stylenya menjadi katakanlah seperti indexing. Kita keluarkan produk baru sehingga kita bisa mengakomodasi keinginan untuk menambah asset under management dengan kita punya style yang kita kuasai.

Makasih pak penjelasannya. Tadi pak Winston sudah sebut krisis. Kemudian saya ingat Panin Dana Maksima didirikan mendekati krisis. Sekarang juga banyak orang bilang, provoke, atau siaga bahwa ini mau krisis. Bagaimana strategi Panin AM ke depan soal krisis?

WS: Kita lihat memang krisis secara global akan terjadi mungkin dalam konteks 1 tahun atau 2 tahun. Short term akan terjadi. Cuma, bagaimana krisis itu akan terjadi? Apakah akan sama seperti 2008 yang sangat dalam atau hanya mild crisis atau krisis yang kecil dan sangat singkat. Seperti 2015. Itu bisa terjadi dan tidak bisa diprediksi karena sangat tergantung daripada antisipasi pelaku pasar atau policy daripada pemerintah-pemerintah dunia. Jadi belum bisa kita lihat akan seperti apa krisisnya.

Tapi yang paling penting justru di dalam krisis ini kita harus berpegang terhadap investment philosophy kita dan kita menyediakan tenaga agar kita bisa melewatkan krisis tersebut. Karena krisis itu kita bisa lihat dari dua belah pihak: satu akan mengakibatkan penurunan di asset price; tetapi setiap krisis adalah opportunity. Setiap krisis dalam ekonomi adalah suatu hal yang positif juga karena dia membuat/membongkar struktur yang ada sehingga alokasi dana daripada resources bisa dialihkan ke hal-hal yang lebih produktif. Untuk itu diperlukan krisis. Kalau nggak tidak akan terjadi perombakan dari alokasi resources. Jadi, setelah krisis, seharusnya keadaannya lebih baru dan lebih sehat. Selalu keadaannya seperti itu dan kita coba melihat opportunity di sana.

Saat di tengah krisis seperti 1997, di Indonesia sedang parah-parahnya, itu mudah nggak sih pak meyakinkan stakeholder mendirikan fund dengan strategi value seperti Panin Dana Maksima?

WS: Kalau buat kita sih tahun 1997 dan 1998 itu memang sangat-sangat sulit. Karena itu bukan krisis ekonomi. Di dunia itu memang krisis ekonomi, tapi di Indonesia itu sudah krisis politik dan krisis sosial. Sebenarnya waktu itu begitu. Bukan hanya pemerintahannya berganti. Tapi juga kita tahu—pemisahan Timor Timur—itu sudah menjurus kepada apakah Indonesia sebagai negara kesatuan itu akan tetap stay—tidak tercerai berai. Kita memang tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. Pada waktu itu sangat berbeda. Tahun 2000 di global sudah mulai naik sampai 2001 sampai dengan dot-com bubble ya. Mereka sudah recover tapi kita nggak bisa karena kita sudah terkena krisis sosial yang sudah terjadi dan memakan waktu cukup panjang hampir 7 tahun untuk recovery.

Sebaliknya, kalau di tahun 2008 krisisnya yang terjadi adalah krisis global yang boleh dikatakan sangat berat. Amerika boleh dikatakan seperti sudah bangkrut. Kalau dia bukan sebagai negara yang punya power sovereignity yang kuat mungkin sudah bangkrut. Tapi bisa lewat. Tapi di Indonesia sifatnya justru walaupun masih memakan waktu 6-9 bulan, tapi cukup cepat recovery-nya. Kalau kondisi seperti itu, kita (Panin AM, red) cukup berhasil untuk meyakinkan/mengatakan kepada nasabah satu per satu bahwa ini tidak menjadi masalah malah jadi peluang yang baik.

Makasih pak penjelasannya sangat menarik. Kita kembali ke paradigma, ya pak. Bagaimana pandangan pak Winston, khususnya Panin Dana Maksima yang Bapak kelola filosofinya mengikuti value investing ala Graham atau ada pergeseran? Misalnya Buffett sendiri kan bilang sudah bergeser, atau bagaimana pak?

Ya, memang ada hal yang tetap sama. Yaitu kita sama-sama meyakini bahwa secara jangka panjang harga saham di pasar merupakan representasi daripada nilai perusahaan. Itu kita tetap yakin. Itu sebagai fundamental dan secara jangka pendek itu bisa berubah dan bisa kita lihat sebagai noise dan sometimes kita melihat sebagai opportunity. Jadi kita bisa bersikap contrarian di sana. Itu kita sama di sana.

Tetapi perbedaan kita terletak karena ada dua hal yang saya lihat.

Pertama, karena struktur ekonomi Indonesia itu sendiri, pasar modal Indonesia itu sendiri. Kita tahu pasar modal Indonesia itu walaupun ada 550-an saham tetapi sebenarnya banyak (…) corporate issue dan lain-lain sehingga pilihannya tidak banyak. Kita katakan marketnya itu shallow, ya. Dangkal. Nggak terlalu banyak pilihan.

Kedua, kita punya struktur ekonomi makro itu sangat rentan terhadap external shock. Artinya apa yang terjadi di luar itu pengaruhnya kepada financial stability kita sangat besar. Kalau misalnya seperti “Trump war” itu kalau diperhatikan kita punya currency kenanya paling besar, kita punya capital flow paling besar kenanya di Indonesia. Kita sangat rentan. Sehingga kita tahu sendiri kalau kita membuat suatu forecast untuk mencari nilai suatu perusahaan poin yang paling utama adalah cost of capital (interest rate). Kalau itu sendiri terlalu banyak bergejolak, dalam penentuan intrinsic value daripada suatu perusahaan, kita harus lebih berani untuk lebih dinamis atau sometimes kita mendapatkan intrinsic value murni secara absolut tetapi relatif. Karena kita tahu baik tingkat bunga maupun kita punya currency lebih itu swing-nya lebih besar. Karena kita rentan terhadap kejutan luar tadi (external shock). Mudah-mudahan ke depan makin lama makin menurun.

Kalau value investing, kalau menurut pandangan saya itu, akan sangat bagus untuk investor pribadi atau close ended fund. Bukan open ended, dalam pengertian orang bisa keluar dan masuk. Seperti Panin Dana Maksima orang bisa keluar dan masuk. Nah, kesulitannya ada di mana? Yaitu kita tidak selalu tahu value akan outperform. Dan juga dinamika pasar cukup besar. Nah, dalam kondisi begitu kita harus menyediakan likuiditas yang lebih atau dalam konteks pemilihan saham unsur likuiditas itu menjadi sangat dominan. Karena liquidity risk itu penting untuk dipertimbangkan. Nah itu membuat kita tidak bisa eh total value—apalagi mencari deep value—nggak bisa. Karena kita open ended. Kita lagi invest yang sifatnya jangka panjang, sangat murah, lalu kita kena redemption. Kita punya struktur portofolio akan menjadi sangat kacau balau. Hal ini yang membuat kita harus berbeda.

Kemudian pak, apakah selama 20 tahun ini apakah ada pergeseran filosofi investasi?

Pergeseran filosofi, evolusi tetap ada. Karena kalau kita lihat memang struktur pasar pun juga berubah. Di tahun 1990-an, analis yang cover saham banyak. Begitu krisis moneter Indonesia 1997 pada kabur semua tidak ada analis. Kemudian tahun 2007/2008 analisnya kembali banyak sehingga pasar yang kita hadapi berbeda.

Juga kemajuan teknologi. Kalau kita lihat terakhir ini kemajuan teknologi di bidang digital economy maupun digital information itu terlalu pesat. Kita melihat itu sebagai disruptive terhadap bukan hanya marketnya tetapi juga disruptive terhadap pengelolaan dana. Karena kalau kita bayangkan saat dulu dengan sekarang, kita cukup duduk di depan komputer, kita browsing, semua data itu ada. Kalau kita bandingkan sepuluh tahun lalu, partisipan pasar jauh besar dan lebih terbuka. Itu suatu perubahan. Sehingga memang filosofi investasi kita untuk beberapa hal berubahnya sangat sedikit terutama dari sisi tadi prudent, konsisten, disiplin—tetap—tetapi dalam expertise kita melakukan valuation mau tak mau harus mengalami perubahan.

Jadi misalnya kita sudah harus melengkapi diri dalam valuasi dengan teknologi. Kita harus punya database. Ternyata waktu lag-nya, antara suatu berita dengan reaksi pasar menjadi lebih cepat. Kita harus lebih adaptive terhadap perubahan-perubahan.

Untuk merespon terhadap sentimen, apa strategi Bapak ada pertimbangan teknikal atau semacam itu?

Untuk merespon semacam itu kita sendiri—saya sangat percaya kepada yang disebut artificial intelligence (AI) sehingga kita juga mempersiapkan diri. Ya tentunya pengertian saya dalam investasi dalam artifical intelligence bukan cuma taruh, colok, lalu komputer buy, sell, buy, sell, terus saya tidur. Tidak. Tetapi itu sebagai tools untuk… oke, ada part-part tertentu dalam AI yang membantu kita untuk mengambil keputusan. Ada beberapa part yang bisa. Cuma memang saat ini, bahkan di luar negeri (LN), juga masih kelihatan itu belum. Karena revolusi di big data di LN kan masih 10 tahunan lah…. sehingga datanya itu masih kurang panjang. Di Indonesia kurang dari 10 tahun dan malah lebih pendek lagi. Data paling banyak mungkin baru 6 tahun. Tapi kita sadar bahwa suatu saat, mungkin 5 tahun mendatang itu akan semakin intensif.

Menarik sekali insight-nya pak. Mungkin saya ingin kembali ke topik strategi. Boleh tahu apakah Pak Winston bisa cerita berapa sih rata-rata holding period kalau strategi Bapak itu?

Rata-rata holding periode ya. Ada saham yang kita pegang sampai 6 tahun, 7 tahun, tetapi ada saham yang apa namanya tidak sampai beberapa bulan kita jual. Kita tidak melihat holding period sebagai acuan kita. Tetapi kita lebih melihat apakah saham itu sudah bergerak melebihi ekspektasi kita. Tapi kalau bicara holding period kita ya rata-rata di atas 2 tahun lah.

Bisakah Bapak cerita keputusan investasi terbaik selama 20 tahun ini?

Keputusan investasi terbaik itu justru yang kita lakukan ada di tahun 2007 dan sampai 2008. Pada 2007 kita sangat underperform. Dan klien-klien saya datang… dan memberikan suatu big pressure kepada kita kenapa kita tidak mengikuti euforia pasar? Menurut kita euforia pasar itu tidak benar pada tahun 2007 akhir. Pada 2007 awal, kita masih ikut, kemudian, terutama untuk saham-saham komoditi kita bilang stop. Kita tahu bahwa itu memang semua euforianya ke sana. Kita stop. Akibatnya kita sangat ketinggalan. Tapi kita tetap tidak mengubah kita punya prinsip. Nasabah marah. Tetapi turns out begitu tahun 2008, begitu market crash, kita turunnya relatif nggak terlalu berat dan kita masih bisa berpikir secara rasional. Tidak panik. Ya karena tidak ikut euforia maka tidak panik.

Nah pada saat itu, kita coba meneliti kembali dan kita mengambil kesimpulan bahwa Indonesia tuh tidak layak dapat punishment seperti itu. Kita (Indonesia, red) termasuk kena punishment paling besar. Karena kita melihat bahwa kita punya ekonomi bisa bertahan. Kita punya “export to GDP” itu nggak terlalu besar dibandingkan negara-negara ASEAN. Dan, kita punya struktur ekonomi pada saat itu baik.

Sehingga saat pasar pada umumnya masih istilahnya agak ketakutan, kita justru—kita memilih portofolio fully invested—kita pilih portofolio yang paling agresif. Ya mungkin kalau pakai beta, kita pilih yang betanya paling besar. Kita berani ambil keputusan seperti itu. Dan, turned out, pada 2009-2010 kita justru mendapatkan rewards yang sangat tinggi. Kemudian karena posisi kita pace-nya benar, kemudian kita switch cepat memindahkan ke second liner dan third liner sehingga kita mendapat dua kali kenaikan. Nah itu merupaka suatu keputusan investasi di mana tahun 2007 kita betul-betul stres, karena ditinggal dan dimarahin nasabah, tetapi justru hal itu membuat kita lebih rasional di tahun 2008.

Pada waktu itu (2007) dana kelolaan sekitar berapa pak? Mohon maaf saya lupa, sekarang kan 12-an (triliun, red).

Tahun 2007, pada waktu itu kelolaannya sekitar 2 triliunan.

Kata bapak waktu itu turun sampai…? Pressure dari pelanggan tidak sampai menarik dana?

Oh, kita turun, bukan kelolaannya turun, tapi performance kita yang betul-betul turun. Pressure dari klien tidak menarik dana karena kita hubungi satu per satu. Tetapi, ya, teman-teman saya banyak yang kenaikan AUM-nya jauh lebih cepat. Kita tidak menikmati kenaikan AUM.

Makasih pak sudah cerita rahasia-rahasianya sedikit. Banyak juga sih. Tadi pak Winston juga cerita strategi small cap habis krisis, masuk ke big cap dulu, baru small cap. Ini di wawancara di 2012 Pak Ridwan Sutedja juga bilang di SCMP kebijakan Panin AM berapa porsi small capnya? Kalau kita investor personal (individu) kan sangat menikmati small cap karena sangat pasif atau nggak ada aktivitas ya. Kalau fund besar gimana ceritanya pak?

Oke… Sebenarnya sih harus kita sadari bahwa saham-saham big cap pada umumnya banyak analis yang cover (analisa fundamental) sehingga valuation-nya mendekati efisien. Jadi, untuk big cap. Justru yang value itu ada banyak di mid cap sama small cap karena tidak semua—sedikit—analis yang mengcover sektor tersebut. Kita memiliki analis internal yang mengcover, sehingga kita bisa discover untuk mid sama small cap.

Tetapi kalau ditanya berapa persentasenya, sebenarnya sih kalau mau idealnya, hampir semuanya taruh di mid sama small cap. Sama seperti investor individu. Maunya. Hal ini akan sangat tergantung kepada pertama-tama kita sebagai open-ended fund bagaimana kita bisa atur nasabah kita. Dalam pengertian kita berikan informasi kepada nasabah kita, tetapi juga kita sudah melihat-lihat apakah nasabah long term. Apakah nasabahnya itu agak gerah? Itu kita dapat input dari marketing kita. Tergantung dari waktu ke waktu. Kalau kita bisa kunci nasabah kita untuk stay, tentunya kita lebih banyak masuk mid sama small cap. Jadi, dari waktu ke waktu itu berbeda.

Dan juga, tidak selalu juga, kadang-kadang saham big cap itu juga saham value. Seperti di tahun 2009 itu semua saham big cap udah saham value karena faktor macro economy yang membuat dia value ya. Risiko global yang sangat meningkat. Terjadi fight to quality (kurang jelas, red). Dalam konteks itu porsi big cap kita besar.

Kemudian ada saat-satanya kita harus meningkatkan saham big cap karena kita AUM kita bertambah sangat signifikan tetapi kita melihat perilaku daripada nasabah kita—belum tentu—horizonnya sama jangka panjang.

Masih fluktuatif (AUM) ya pak? Tiga tahun terakhir 10, 11, 12 triliun.

Pada tahun 2016 Panin Dana Maksima sangat besar kelolaannya. Karena ada satu investor besar kita dia keluar. Dia keluar, tapi kita sudah memprediksi lebih dahulu, sehingga kita selalu menyiapkan suatu portofolio saham-saham yang memiliki likuiditas tinggi. Tetapi keluarnya cukup signifikan sehingga dia diikuti yang lain-lain sehingga bagaimana pun juga memang pada waktu itu pengaruh juga. Tahun 2017 sangat buruk bagi kita karena kita betul-betul underperform karena pada saat nasabah itu keluar kita masuk pada saham-saham likuid, yang notabene adalah big cap kita banyak kurangi. Pada 2017 akhir ada local investor yang push saham big cap kita sehingga indeks kita tuh aneh sendiri.

Kita kekurangan saham big cap. Pada saat redemption kita harus menyediakan likuiditas. Pada saat yang sama big cap itu diangkat. Ya itulah kondisi yang pernah terjadi.

Kalau kembali ke pertanyaan, berapa porsi small cap, kita mengharapkan sebanyak-banyaknya. Tetapi kita harus menyediakan likuiditas. Dan juga kita harus lihat kondisi nasabah kita seperti apa.

Ini pertanyaan terakhir tentang Panin AM. Ini saya lihat Panin AM sepertinya sangat konservatif, baik dari sisi marketing atau lainnya. Bagaimana strategi peningkatan AUM-nya? Apakah pilihan konservatifme itu memang by design atau gimana?

Kita memang betul-betul sangat konservatif. Baik dalam SOP kita maupun dalam melakukan pengelolaan dana. Sehingga dalam beberapa hal agak terlambat untuk meningkatkan AUM. Memang di mana-mana ada high risk, high return. Begitu pula kalau kita berani ambil nasabah yang kurang sesuai dengan produk yang kita tawarkan kan bisa. Kita bisa meningkatkan dengan “me selling”. Kan, bisa. Katakan, “Oke, nih produk guarantee pasti naik. Lihat performance 20 tahun CAGR-nya bisa di atas 20%.” Kita bisa jual seperti itu dengan begitu banyak klien tertarik, kan. Tapi itu kan, “me selling.” Kita harus meyakinkan bahwa klien kita itu dananya memang siap untuk katakanlah mengalami 2-3 tahun agak sulit. Kalau market lagi turun kita juga agak susah untuk perform. Kita tidak agresif dalam penjualan seperti itu. Akhirnya kita lihat dalam jangka pendek kita ketinggalan tetapi seperti saya katakan ini ini marathon runner. Nanti toh pada saat ada krisis berat, saat terjadi risiko, ada bad debt, dan segala macam—toh kita yang jalan konservatif toh akan mengejar.

Jumlah investor di Indonesia kan masih kecil. Kami ingin menimba wisdom mengingat pengalaman Pak Winston dari floor trader sejak 1989 hingga sekarang. Bagaimana visi Bapak soal masa depan pasar modal di Indonesia 10-20 tahun mendatang terutama kalau kita semua bisa melewati tantangan dan krisis ini dengan baik? Juga barangkali ada saran untuk investor pada umumnya?

Saya kira kita semua mengharapkan investor pasar modal tambah banyak. Tetapi jangan hanya kita lihat jumlah investor yang lebih banyak, yang lebih penting lagi investor yang mengerti lebih banyak. Jadi kuncinya tetap literacy. Pendidikan terhadap investasi itu lebih utama daripada hanya mengejar jumlah. Tentunya kalau kita bisa dapat dua-duanya: jumlah yang banyak dan mengerti, itu akan jauh lebih baik. Dan untuk memberikan edukasi itu bukan hal yang kita bisa (ambil jalan) shortcut. Tetapi di satu sisi dengan adanya teknologi kita bisa mempercepat proses. Ya, ada podcast, ada Youtube, ada blog atau apa. Itu akan mempercepat proses.

Kuncinya harus seiring antara jumlah investor dengan pemahaman investor mengenai investasi pasar modal. Karena kalau misalnya kita hanya menekankan pada hanya menggaet nasabah sebanyak-banyaknya, yang saya takut dengan pemahaman yang kurang, (saat) rugi mereka akan tobat. Ini bukan satu dua kejadian, ya. Pada saat market lagi naik, lagi euforia, banyak orang masuk kemudian mengatakan bahwa pasar modal itu judi. Padahal kalau kita lihat konteks asal mereka mengerti itu lebih baik.

Kalau menurut saya sih saya mengimpikan investor yang banyak, tetapi investor banyak yang mengerti. Dan kalau memang tidak semua investor memiliki resources untuk berinvestasi sendiri, ya itu, channel-nya bisa diserahkan kepada yang lebih mengerti, termasuk kita (Panin AM, red) sebagai fund manager tapi juga bisa masuk lembaga-lembaga seperti dana pensiun, insurance, dll. Tidak semata-mata menambah jumlah investor retail. Tapi juga investor institusi harus dikembangkan. Karena mereka itu lebih profesional. Idealnya begitu. Banyak investor asal cakap dan mengerti itu bagus. Tapi kalau investornya tidak mengerti, menurut saya, justru kasihan.


Kinerja Panin Dana Maksima dari 1997-sekarang

PeriodePDMIndeks RD SahamIHSG
Apr 1997 - Dec 1997-16.74 %-35.01 %-38.39 %
199844.09 %31.46 %-0.91 %
1999190.23 %91.34 %70.06 %
2000-36.95 %-39.48 %-38.50 %
20012.81 %-7.91 %-5.83 %
200216.98 %20.15 %8.39 %
200365.45 %39.05 %62.82 %
200435.98 %35.11 %44.56 %
200526.64 %18.56 %16.24 %
200670.36 %48.21 %55.30 %
200732.64 %52.21 %52.08 %
2008-36.10 %-53.75 %-50.64 %
2009123.59 %97.27 %86.98 %
2010102.10 %29.25 %46.13 %
20119.70 %-0.25 %3.20 %
20128.68 %10.06 %12.94 %
2013-0.38 %-3.66 %-0.98 %
201426.46 %27.86 %22.29 %
2015-14.70 %-14.54 %-12.13 %
201612.37 %7.70 %15.32 %
20172.93 %11.25 %19.99 %
2018-1.58 %-3.67 %-2.54 %
YTD (10 September 2019)9.88 %-5.61 %2.30 %

Sumber: Panin Dana Maksima (PDM)

  • Kinerja akumulasi PDM: 7.854% (hampir 7.900% seperti dalam pengantar podcast) sejak April 1997
  • CAGR akumulasi 22 tahun: 21,95% YoY (kinerja ini setelah dikurangi biaya manajemen)
  • NAB/Unit PDM per 10 September 2019: Rp78.640

Referensi:


Diterbitkan: 12 Sep 2019Diperbarui: 14 Sep 2024