Ini adalah secuil kisah pada tahun 1919 di era penjajahan Belanda yang dikisahkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta di biografinya. Kisahnya berhubungan dengan kebijakan pangan di Sumatera Barat. Saya perlu mengungkap ini sebagai refleksi dan pengingat akan kebijakan pangan saat ini, terutama ketika perusahaan terbuka punya peran cukup besar di sektor makanan pokok.

Politik Beras Zaman Kolonial

Pada Juni 1919 Pak Hatta muda akan berangkat ke Jakarta (dulu Betawi) naik kapal KPM. Rencananya kapal akan berangkat dari pelabuhan Teluk Bayur pukul 08.00 seperti biasa.
Selamat tinggal Teluk Bayur permai Daku pergi jauh ke negeri seberang Ku kan mencari ilmu di negeri orang Bekal hidup kelak di hari tua
Tiba-tiba ada perintah kapal dilarang berangkat. Menurut Pak Hatta, katanya ada larangan dari Residen Sumatera Barat, Tuan La Febvre. Kenapa ditolak?

Kita akan tahu setelah Tuan Residen itu datang ke pelabuhan. Seorang residen adalah wakil pemerintah penjajah Belanda di suatu sebuah wilayah yang lingkupnya satu atau beberapa kabupaten. Apa yang dilakukannya? Ternyata Tuan Residen La Febvre menyuruh ratusan karung beras yang telah naik ke atas kapal agar diturunkan lagi. Ternyata Asisten Residen Witlau, yang notabene wakilnya La Febvre, tanpa sepersetujuan Tuan Residen mengijinkan kantor dagang asing membeli beras banyak-banyak dan mengekspornya ke luar daerah.

Apa alasannya? Seperti tercantum di Bukitting-Rotterdam Lewat Betawi, Pak Hatta menulis, “Ia (La Febvre) tidak suka daerah akan kekurangan beras dan menderita kelaparan sebagai akibat permainan cari keuntungan besar oleh kapitalis asing.” Orang Belanda menuduh kapitalis asing? Agak aneh juga kan. Tapi jangan bingung. Definisi asing adalah di luar daerah Sumatera Barat. Konsep negara Indonesia saat itu belum ada.

Spekulan ini, biasanya orang luar daerah, hanya berpikir keuntungan tanpa memikirkan nanti jika daerahnya kekurangan beras. Atas tindakan Tuan Residen La Febvre, Sumbar terlepas sementara dari ancaman kekurangan makanan.

Tuan La Febvre mendapat pujian di daerahnya. Sementara itu media kolonial jajahan di tingkat nasional menuduhnya sebagai seorang sosialis yang menjalankan politik anti-kapitalis tanpa memperhatikan (menurut klaim mereka) di mana-mana kekurangan beras. Tuan La Febvre kena tohok juga, tak lama itu ia diberhentikan.

Apa selesai polemiknya? Ternyata belum. Ini kutipan tulisan Pak Hatta,

Rakyat Sumatera Barat yang tidak pernah kekurangan beras juga kena pukul. Harga beras berangsur-angsur meningkat dari f 5 (gulden) sampai f 60 sepikul. Beras banyak mengalir ke luar daerah, dikirim ke berbagai perkebunan Barat yang berada di Sumatera Utara atau menjadi beras spekulasi. Selagi di Sumatera Barat, harga beras sepikul meningkat sampai f 60, di Betawi f 15 sepikul karena ada peraturan distribusi pada waktu itu. Yang aneh lagi ialah bahwa harga beras di Kerinci sepukul f 1,25, sedang di daerah sebelahnya f 60. Sebabnya ialah karena jalan tidak ada dan pengangkutan juga tidak ada.

Politik Pangan Itu Penting

Apa yang bisa kita ingat dari kisah politik beras di zaman kolonial Belanda itu?

Spekulasi penting pengaruhnya ke harga pangan. Spekulasi adalah bumbu kapitalisme agar pengusaha untung. Tapi jika konsentrasinya adalah menjaga kestabilan sosial terutama ketersediaan beras, peluang spekulasi harus dibatasi. Yang tak kalah penting adalah distribusi dan logistik. Pengaruhnya ke harga dan stabilitas makanan sangat penting pula.

Di sisi lain, di zaman modern ini dan juga di zaman lampau, seandainya pemerintah ingin mengambil peran lebih jauh di politik pangan, hal itu bisa jadi masalah. Seperti La Febvre yang dituduh anti-kapitalis (anti pengusaha beras). Bahkan mungkin bisa pula merugikan petani beras, atau konsumen beras. Semua hal bisa terjadi.


Baca juga analisa mendalam kami: Tentang Kasus Beras Anak Usaha PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) (Catatan: akses artikel saya buka sementara agar banyak orang bisa baca)


Dari kisah di atas, ada beberapa hal penting yang bisa dipelajari: peluang spekulasi, yaitu lepasnya pembatasan ekspor. Kemudian adanya proteksi distribusi di Betawi, yang merupakan kota besar dan pusat kendali pemerintahan kolonial, jadi wajar pemerintah perlu menjaga kestabilan harga.

Pada akhirnya, kebijakan politik pangan bisa melindungi dan menghancurkan harga pangan.

Seandainya perusahaan punya hati, karena perusahaan bukan manusia, tapi dibentuk dan didirikan oleh manusia-manusia. Saya mengetuk hati emiten distributor beras, tepung, minyak, makanan ternak, bibit tanaman, pupuk, dan juga lainnya yang terkait dengan sektor pangan. Misi perusahaan memang mengabdi kepada shareholder, pemangku kepentingan pemegang saham. Tapi sebagai investor, sebagai pemegang saham, kita juga ingin perusahaan menyadari ada misi sosial seperti ini.

Menjaga keseimbangan politik pangan itu wajib hukumnya, baik bagi pemerintah atau pelaku usaha bahan makanan. Apalagi makanan pokok, atau bahan makanan sekunder yang juga dikonsumsi masyarakat seperti tepung, minyak, dan sayuran. Masalahnya adalah menyangkut kepentingan orang banyak, masyarakat. Jika masyarakat ramai, ribut, atau malah tidak bisa mencari sumber makanan—pasti suatu negara mengalami masalah sosial. Rugi kan usaha Anda tumbuh tapi ada masalah sosial? Dan Anda dituduh menjadi biang keladinya? Bisa-bisa usaha yang dirintis puluhan tahun hancur seketika karena hukuman sosial yang negatif di masyarakat.


Diterbitkan: 29 Mar 2018Diperbarui: 18 Feb 2022