Jumlah investor saham di Indonesia per September 2016 ini baru tembus setengah juta orang, itu pun yang aktif konon hanya ratusan ribu. Dan, ada yang menulis investor lokal pun hanya 35% saja.

Kenapa investor Indonesia sangat sedikit? Bandingkan dengan investor di Malaysia yang sekitar 18% penduduk. Di Singapura apalagi jauh lebih besar. Saya kira salah satu penyebab minimnya investor adalah kurangnya edukasi, dalam arti edukasi yang benar. Memangnya ada edukasi investasi yang tidak benar? Ada dan banyak. Tapi kita comot satu hal saja, misalnya pembelokan makna investasi menjadi kegiatan judi. Entah ini disengaja atau tidak, sudah lama istilah “main saham” beredar di media massa, digunakan oleh pakar/tokoh, bahkan jadi judul buku atau artikel di media massa.

Apa maksud main saham kalau bukan ingin berkata bahwa kegiatan ini hanya kegiatan iseng-iseng dapat duit atau judi? Seakan-akan berkata, “Ini lho, tempat permainan baru. Kau bisa main dapat uang cepat.”

Media Kompas Minggu, 23 Oktober 2016 lalu tepergok masih menggunakan istilah ini dalam liputan berjudul “Cuma Kencan, tetapi Cuan”, di halaman depan. Kesalahan pemakaian kata ini tak hanya dilakukan koran ini, Tabloid Mingguan Kontan edisi 31 Oktober-6 November 2016 di halaman 13 juga melakukannya di paragaraf pertama langsung. Tapi kita coba ulas artikel Kompas saja.

Lihatlah kata “mainan” dalam tanda kutip di kalimat pertama. Saya hargai usaha pemberian tanda kutip, seakan berusaha berkata bahwa ini konotatif, tapi aroma liputan hanya berkata bahwa di arena saham ini banyak orang bisa dapat jackpot, uang renyah dan cepat.

Ada beberapa penggunaan kata sejenis selain kutipan kepala berita tadi. Satu berupa kutipan dari Aab, penarik angkutan taksi lewat gawai, tentang rekornya menang main saham. Kemudian ada tulisan “pemain saham memainkan saham gaya “nyopet” seperti Aab, Coki, dan Jumi”, persis di bawah sub judul Sabar pun “Cuan”. Berikutnya dan terakhir, dalam paragraf penutup tulisan.

Mengutip seseorang bisa nyopet di pasar saham pun membuat saya terhenyak dan ambil napas panjang. Kenapa sedemikian parah? Bagaimana kesan orang awam yang baru tahu ada sebuah pasar saham di dalamnya orang bisa nyopet, kencan, lalu cuan. Siapa pula yang dicopet itu? Siapa yang dikencani? Berapa korban copetan dan kencan gila itu?

Seandainya saya hakim, pasti akan saya jatuhkan hukuman kegiatan nyopet yang dikampanyekan luas ini. Tapi ini kan nyopet resmi, begitu? Apakah ini juga judi legal, begitu?

Baiklah, kalau lah kita bersikap adil, memang banyak orang, dan mungkin mayoritas orang menganggap pasar saham adalah sarana spekulatif, atau perjudian, sekadar bersenang-senang tapi bisa untung. Ya, mau gimana lagi. Tiap orang bisa beranggapan apa saja. Itu hak mereka. Tapi media, pakar, tokoh, buku, mohon jangan lah.

Ayolah, kakak. Tobatlah kalian memakai istilah main saham ini. (Memang saya siapa menyuruh redaksi tobat, hehehe). Tapi kita punya kewajiban yang sama sebagai media edukasi publik. Ganti dengan kata “dagang saham", kek. “Trading saham”, nek. Tapi hindari kata-kata negatif itu. Istilah negatif memberi edukasi negatif. Edukasi yang keliru sama saja membuat orang yang belum tahu makin tak tahu apa itu investasi saham. Orang makin tak tahu investasi saham sama saja menjerumuskan manusia Indonesia ke literasi finansial yang masih bobrok ini. Skema ponzi yang sudah jelas bau busuknya saja masih banyak yang senang menghirup, juga beragam penipuan finansial lainnya.

Agar liputan fair, redaksi seharusnya bisa bertanya pada investor sukses yang bisa meraup ratusan persen, ribuan persen, bahkan puluhan ribu persen dari investasi saham mereka. Pak Lo Kheng Hong secara terbuka berbagi cerita kesuksesannya berinvestasi saham dalam jangka panjang. Itulah potensi pasar saham. Membuat orang bisa mendapatkan keuntungan yang tak mungkin didapat di wahana investasi lainnya. Sebut pula potensi mendapatkan dividen. Katakan juga hak-hak pemegang saham seperti mengajukan voting pada pengurus perusahaan, dan seterusnya. Tentu tak lupa harus diceritakan risiko berinvestasi saham, kalau harga sahamnya turun, lalu mereka jual, ya hangus uangnya.

Bapak Ibu Redaksi yang terhormat, kalau media sudah bijak, lambat laun masyarakat Indonesia akan paham bahwa dengan berinvestasi saham, atau pakai istilah “Yuk Nabung Saham” yang diusung OJK itu, dana masyarakat akan punya wadah lain untuk beranak-pinak. Tak hanya ayam yang bisa bertelur, uang pun bisa bertelur. Telur hasil investasi bisa diceplok menjadi sajian yang gurih, atau ditetaskan lagi menjadi saham lain agar pundi masyarakat Indonesia makin berbiak.

Saya sudah pernah mengingatkan hal ini lho di media ini dalam tulisan Bermain Saham?, sejak 2011 lalu. Harap maklum juga kakak-kakak media ini dibaca hanya sekitar 20 ribu pembaca per bulan, tidak seperti media cetak yang oplah hariannya ratusan ribu, yang luas pengaruhnya itu. Mungkin tidak banyak yang tahu tulisan itu. Tapi saya tak akan bosan untuk mengingatkan. Beberapa tahun lagi kalau masih ada media besar yang menggunakan kata ini, saya pasti akan menulis lagi. Saya juga akan menghubungi penulisnya agar mereka tahu bahwa saya membaca tulisan mereka.

Ya, bila kita semua melalukannya, apalagi bila didukung media besar yang bisa memberi edukasi yang benar, saya yakin investor Indonesia bisa tumbuh pesat. Pada saat itu saya yakin Indonesia akan jauh lebih makmur.

Salam berinvestasi saham!


Diterbitkan: 28 Oct 2016Diperbarui: 18 Feb 2022