Anda pasti sering dengar istilah “padat modal” atau capital intensive. Mari pelajari definisinya, bagaimana karakter usaha industri yang dikenal padat modal, sifat arus kasnya, serta pengaruhnya ke hasil investasi.

Arti Belanja Modal atau Capital Expenditure (Capex)

Sedikit bahasan tentang belanja modal atau capex pernah diulas dalam artikel arus kas bebas (free cash flow), tapi kita akan ulang sedikit di sini.

Belanja modal adalah uang yang dibelanjakan oleh perusahaan untuk membeli, merawat, atau memperbaiki aset tetapnya seperti bangunan, kendaraan, peralatan, atau tanah. Biaya yang digolongkan sebagai capex atau belanja modal adalah ketika aset baru dibeli atau ketika uang dipakai untuk memperpanjang usia kegunaan dari aset sebelumnya, analoginya seperti memperbaiki atap. (Sumber: Wikipedia)

Pos keuangan yang masuk dalam kategori belanja modal biasanya dicatatkan di laporan arus kas untuk investasi. Pengeluaran untuk biaya modal biasanya akan masuk aset dalam kategori properti, pabrik, dan peralatan (property, plan, and equipment).

Depresiasi, Amortisasi, dan Deplesi

Karena peralatan/kendaraan bisa rusak, alat bisa aus, gedung harus direnovasi, maka perusahaan harus menyediakan pos keuangan untuk biaya mengganti aset tetap yang diperoleh itu. Pos biaya modal biasanya dikenakan biaya non-kas bernama depresiasi, amortisasi, dan deplesi.

Kenapa ada biaya non-kas? Analoginya biaya-biaya ini akan menghapus nilai perolehan aset tetap yang dipakai membangun atau mengembangkan usaha. Peralatan harus rutin diganti agar usaha berjalan dengan baik. Software akan expired setelah beberapa tahun. Perizinan pertambangan harus diperbarui agar mineral yang dikandung di dalamnya bisa diekstraksi. Dalam prinsip akunting semua charge ini akan mengurangi pendapatan perusahaan. Secara paradigma, karena biaya non-kas, uang perusahaan di masa kini yang dipotong biaya non-kas bisa dipakai perusahaan untuk mengganti aset tersebut di masa mendatang. Lama masa pakai bervariasi, dari 4, 5, hingga beberapa tahun, tergantung dari jenis asetnya.

Depresiasi adalah biaya non-kas yang mengurangi nilai aset tetap seperti peralatan, kendaraan, dan mesin. Amortisasi untuk biaya non-kas yang mengurangi nilai peralatan non fisik seperti biaya pembelian lisensi software. Deplesi untuk biaya non-kas yang mengurangi nilai aset mineral dan tambang.

Karakter Belanja Modal Perusahaan

Pembaca Bolasalju yang kritis pasti paham ada industri yang memang secara alami perlu modal di awal dalam jumlah besar. Ada juga industri yang tidak perlu modal besar di awal, tapi perlu biaya modal rutin yang juga relatif besar dibanding industri lain. Terakhir, pasti ada industri yang biaya memulainya rendah.

Contoh industri yang relatif tidak haus modal adalah industri jasa desain. Saya tidak menggampangkan industri ini karena saya pernah berkarya hampir 15 tahun di bidang ini. Ibaratnya, paling sederhana, pelaku usaha desain hanya perlu modal ruangan dan komputer pengolah grafis yang mumpuni. Harga komputer seperti saat ini relatif tidak pahal. Beberapa software bisa disewa bulanan. Satu hal yang mahal adalah bakat, keahlian, dan pengalaman pelaku usaha di bidang desain. Namun, saking murahnya biaya modal di sektor ini, ada layanan cetak di kota saya hanya menarik biaya tambahan Rp15.000 sampai Rp50.000 untuk jasa desain sebelum dicetak. Tentu saja pelaku usaha yang bonafid dan terkemuka tidak bakal menarik biaya semurah itu. Tapi itu adalah gambaran bahwa murahnya biaya modal untuk sektor usaha ini.

Sementara itu ada sektor seperti properti yang untuk memulainya perlu modal lebih besar. Biaya terbesar awal, misalnya pembelian tanah untuk dikembangkan. Setelah tanah, biaya modal diperlukan untuk menggarap proyek pembangunan. Nilainya awal proyek ini jelas jauh lebih besar. Properti memang salah satu industri yang padat modal.

Industri padat modal umumnya jelas berhubungan dengan biaya perolehan aset tetap. Tapi karakter industri padat modal tidak selalu seperti itu. Sektor usaha digital non konsultasi seperti pengembangan produk perangkat lunak, pengembangan produk perangkat keras, atau pengembangan jasa sebagai perangkat lunak (software as service) pun bisa perlu biaya modal besar sebelum bisa dipasarkan. Selain produk sendiri mereka juga harus membangun tim pengembangan produk, pemasaran, hingga tim purna jual—lama sebelum produk/jasa pertama menghasilkan uang untuk perusahaan. Karakter permodalan bisa turun setelah proses pengembangan selesai dan masuk ke masa perawatan.

Karakter permodalan bisa berubah setelah usaha berjalan dan menghasilkan arus kas untuk perusahaan. Setelah itu biaya modal relatif lebih rendah dibanding pemasukan yang diterima perusahaan, Itu jika usahanya lancar. Bila nasib berkata lain, bisa juga arus kas masih tersendat, lalu perusahaan tak mampu menghasilkan laba yang cukup.

Ada perusahaan yang baru masuk ke industri padat modal namun ia didukung oleh perputaran arus kas di bidang lain yang sudah berjalan mapan dan menghasilkan arus kas besar. Maka perusahaan sepertinya tidak terpengaruh dengan gejolak modal awal tersebut.

Investor perlu memahami karakter biaya modal industri agar bisa mencari peluang investasi yang lebih menguntungkan di saat yang tepat.

Industri Padat Modal

Industri padat modal berkaitan dengan usaha yang perlu investasi besar untuk membeli aset mahal seperti tanah, mesin pabrik, kendaraan, peralatan, fasilitas, dan infrastruktur lainnya.

Seketika saya teringat perusahaan pertambangan, minyak, dan gas sebagai sektor yang dikenal sebagai haus modal. Selain pembelian lahan atau area konsesi, pelaku usaha pertambangan memerlukan perizinan, peralatan berat yang mahal, serta tentu saja biaya eksplorasi dan ekstraksi sebelum manfaat sebenarnya bisa diserap oleh pemilik usaha.

Sektor telekomunikasi juga dikenal padat modal. Biaya pendirian tower, peralatan telekomunikasi, kantor cabang, sumberdaya manusia, perizinan, semuanya harus diperlukan jauh sebelum usaha berjalan.

Sektor transportasi juga bisa masuk kategori padat modal, termasuk di antaranya sub sektor transportasi darat/udara/laut, logistik darat/udara/laut, taksi, otomotif, pengangkutan lainnya. Sektor ini memerlukan biaya modal besar untuk pembelian kendaraan, infrastruktur rel untuk kereta api, juga kapal untuk pengangkutan laut.

Biaya modal akan makin besar jika aspek pembelian dalam mata uang asing sehingga nilainya akan terpapar oleh fluktuasi kurs jika Rupiah melemah.

Perusahaan yang memperlukan biaya riset dan pengembangan juga bisa digolongkan sebagai industri padat modal. Sektor ini termasuk industri otomotif, pengembangan obat dan farmasi, dan komputer.

Sektor lainnya yang juga dikenal sebagai padat modal adalah konstruksi, rumah sakit, dan perhotelan. Hal ini jelas karena selain tanah atau kawasan, peralatan dan bahan bangunan memerlukan biaya yang besar jauh sebelum perusahaan bisa menjualnya kepada pelanggan.

Sektor padat modal tentu banyak macamnya. Kategorisasi pun bisa berkembang. Sebagai contoh, sektor pertanian bisa menghabiskan biaya modal yang besar jika ada upaya riset dan pengembangan untuk jenis tanaman baru yang memerlukan percobaan dan riset lebih lama. Usaha perkebunan sawit jelas perlu biaya modal besar sebelum sawitnya bisa dipanen.

Pendanaan untuk Biaya Modal

Ada kalanya suatu industri dalam sektor padat modal perlu pengembangan berkali-kali ketika ia ingin mengembangkan usaha lebih luas. Salah satu contohnya adalah sektor properti dan real estat. Ada emiten properti yang setiap ekspansi harus memerlukan biaya modal baru. Pencarian dana ini bisa diperoleh melalui penerbitan surat utang obligasi, suku, atau notes, penerbitan saham baru (right issue), atau utang. Saat ada upaya pendanaan baru seperti right issue hak kepemilikan investor bakal berkurang, lebih-lebih jika porsinya besar. Investor harus memahami karakter industri padat modal seperti ini agar bisa mengantisipasi adanya investasi baru di masa depan.

Pengaruh ke Hasil Investasi

Hasil investasi di sektor padat modal akan terpengaruh dengan pola dan struktur biaya modal yang terjadi di perusahaan itu. Saat masa penanaman modal awal terjadi, umumnya kinerja perusahaan turun, dan bahkan bisa terjadi negatif. Setelah proses pengembangan selesai dan upaya pemasaran sudah dilakukan, maka akan terjadi arus kas positif, yang kemudian menghasilkan laba untuk perusahaan. Investor harus jeli dengan pola seperti ini.

Investasi tidak hanya semata memahami rasio harga dibanding laba saja. Investor harus bisa memahami pola biaya modal perusahaan agar bisa mencari peluang masuk ke perusahaan yang di masa depan diperkirakan sudah memanen hasil investasinya. Di sisi lain, investor juga harus bisa menghindari perusahaan-perusahaan yang dikenal padat modal, lebih-lebih yang perlu upaya kenaikan modal lebih lanjut untuk melanjutkan operasinya di masa depan.

Investasi paling ideal tentu saja di sektor-sektor yang biaya modal relatif rendah namun menghasilkan perputaran arus kas positif setiap saat. Lebih baik lagi jika investor bisa mencari perusahaan yang punya nilai kompetitif dibanding pesaingnya. Warren Buffett selama 30 tahun sejarah investasinya adalah di  sektor usaha yang tidak padat modal. Saya jadi paham rasionalisasinya setelah mengetahui karakter belanja modal usaha-usaha tersebut.

Lalu kenapa investor mau berusaha di sektor padat modal? Padahal kadang ada risiko investasi tidak kembali saat hasil operasional gagal atau tidak menghasilkan nilai ekonomi yang cukup untuk mengembalikan modal. Jawaban filosofisnya adalah begitulah alam bekerja.

Tidak semua orang ingin masuk ke sektor minim modal tapi mudah dimasuki oleh siapa saja, atau barrier to entry rendah. Aspek padat modal akan menghalangi masuknya banyak pelaku usaha di sektor itu. Bagi yang berhasil akan sepadan hasilnya. Itulah daya tarik sektor ini. Terakhir, tentu saja sektor tertentu pasti ada keahlian di bidang tersebut, yang mau tak mau menarik minat pelaku usaha karena potensi keuntungannya menarik minat mereka.


Diterbitkan: 23 Jul 2018Diperbarui: 18 Feb 2022