Analisa investasi umumnya hanya berbicara peluang saja. Seperti mengeraskan nyanyian yang sudah terdengar di seantero area. Apa gunanya seperti itu? Sebuah analisa yang bagus justru mengeraskan lagu sunyi yang indah, atau juga sebaliknya, menyadarkan orang dari nyanyian sumbang.

Terjadinya Analisa

Emiten sebagai perusahaan terbuka selalu perlu media dan analis. Seperti simbiosis mutualisme antara kerbau dan burung pemakan serangga yang nongkrong di punggung mereka. Tapi analis dan media tak sekadar memakan serangga di punggung emiten, mereka kadang bertugas sebagai pengeras suara.

Emiten perlu publikasi, yang bisa dioperasikan lewat dua jalur, media dan analis. Saya tak akan mengomentari media karena kadang media punya batasan, seperti: tak bisa membuat opini sendiri dan hanya mengangkat opini orang lain. Jika ada media membuat opini, nah Anda perlu tanya kredibilitas mereka. Bagaimana dengan analis? Semua analis tugasnya membuat opini. Pertanyaan pentingnya, apakah opini itu dibuat berdasarkan data ataukah hanya gosip? Hal itu untuk menilai kredibilitas analis. Karena analisa harus dibuat dengan data, maka tak ayal, analis harus mempertanyakan setiap data.

Saat ada publikasi materi dari emiten yang menyatakan akan mengakuisisi perusahaan lain, analis harus bertanya lebih jauh di luar apakah akuisisi itu punya potensi peningkatan laba emiten hingga berakhir pada kenaikan harga sahamnya. Analis harus punya narasi terhadap kepentingan siapa analisa itu dibuat. Jika dibuat untuk emiten, kita tak akan tanya. Jika dibuat untuk investor, maka analis harus memakai pola pikir investor. Jangan hanya mengikuti narasi yang dibuat oleh emiten bahwa ada rencana A, maka B akan terjadi, maka C akan memungkinkan. Analis harus bertanya, jangan buru-buru A, tapi bagaimana mereka mencapai A? Biaya, strategi, apa target yang ingin dicapai kenapa harus A, kenapa tidak pakai strategi D, E, F? Begitu misalnya.

Peringatan Kami di Antara Baris Kata

Saat rencana akuisisi itu dipublikasikan oleh manajemen, kami ingin membuat analisa khusus tentang ini. Kami punya konsep, tapi belum bisa mengekesekusinya, karena kesibukan dan hal lain.

Saya memantau berita media dan blog online. Umumnya membahas naiknya harga saham karena rencana akuisisi—seakan-akan berbicara kepada investor publik bahwa ada rencana bagus, maka sahamnya naik. Salah satu analisa cukup kritis dibuat Bareksa terbit pada 28 September 2017, mereka menyoroti terjadinya transaksi saham oleh pemegang saham PADI di waktu yang krusial saat periode 4 September – 20 September 2017. (arsip, good job Bareksa!).

Minggu lalu terbit klarifikasi bahwa akuisisi dibatalkan OJK karena investor (pihak PADI) belum memenuhi kewajiban keterbukaan informasi untuk kepentingan rights issue. Meskipun mereka nyaris menyuntikkan modal. (Sumber: Antara)

[caption id=“attachment_12085” align=“alignnone” width=“1964”]Grafik harga saham PADI 1 tahun terakhir, diambil 17 April 2018. Grafik harga saham PADI 1 tahun terakhir, diambil 17 April 2018.[/caption]

Per 27 September 2017 saat rencana akuisisi dibuka ke publik secara terbuka, saham PADI mulai naik sejak akhir Juli hingga puncaknya tertinggi di harga Rp1.600 pada 6 Oktober 2017. Padahal sebelumnya dijual di kisaran Rp400 per lembar.

Setelah yakin belum ada yang mendiskusikan hal-hal utama yang kami kira penting bagi investor, maka saya beranikan menulis analisa ini, yaitu:

  1. sumber dana akuisisi
  2. jomplangnya aset kedua perusahaan yang terbalik
  3. keanehan transaksi perusahaan sekuritas mengakuisisi bank bisa (akan) terjadi di dunia keuangan Indonesia
  4. beberapa peringatan dalam beberapa pertanyaan.
Analisa kami terbit pada 17 Oktober 2017. Artikel terproteksi bisa diakses untuk pelanggan Bolasalju. Kami cukup puas telah membuat analisa ini di waktu yang tepat. Seandainya investor membaca peringatan kami, saya kira investor konservatif bisa menghindari kerugian karena sifat akuisisi yang tidak masuk akal.

Pada 7 Februari, ada dua berita dengan sudut pandang berbeda yang terbit di Infobank (arsip) dan Bisnis (arsip). Infobank mengabarkan beberapa hal: kepastian gagalnya, HMETD PADI tidak ada hubungannya dengan akuisisi yang mana baru disampaikan pada Februari 2018, sumber pendanaan, juga ikhwal apakah ini upaya mengerek harga saham PADI yang telah naik 3 kali lipat. Di hari yang sama, Bisnis juga menerbitkan artikel satu tema, mereka meneruskan berita pihak PADI yang berkata bahwa mereka hanya fasilitator, bukan investor sesungguhnya. Jika dari awal hanya fasilitator, masalah akan lain. Tapi kenapa baru dikatakan saat Februari? Esok harinya, 8 Februari saham PADI turun -18,37%. Lusanya, pada 9 Februari 2018, saham PADI ditutup pada Rp545, turun -25,85% dari harga 7 Februari Rp750 per lembar. Setelah sahamnya naik lebih 300%, lalu turun hingga -65,94% dari titik tertinggi, sebenarnya kita menyaksian cerita macam apa jika alurnya seperti ini?

Silakan baca analisa kami, Memahami Rencana Akuisisi Bank Muamalat oleh Minna Padi Investama, Apa Tidak Terbalik?

Tugas sebagai periset dan analis investasi kadang harus memberi peringatan, meski dengan bahasa tersembunyi dan di antara baris kata. Investor konservatif harus berhati-hati dan perhatian tentang hal-hal yang terbang di antara baris-baris analisa dan berita. Jangan hanya mendengarkan nyanyian yang seakan terdengar merdu tapi sebenarnya sumbang.


Diedit oleh YW


Diterbitkan: 17 Apr 2018Diperbarui: 18 Feb 2022