Benarkah saham berisiko tinggi? Karena ada kepercayaan ini, saya duga banyak orang enggan berinvestasi saham. Bahkan enggan mempelajarinya lebih serius. Buktinya, jumlah investor cuma 600-an ribu. Mari melihat kembali pandangan kita akan risiko, siapa tahu salah? Fatal lho akibatnya.

Benarkah Saham Berisiko Tinggi?

Ada suatu sikap yang sering diungkap Daniel Kahneman, peraih hadiah Nobel di bidang ekonomi dari studinya di bidang perilaku keuangan, yaitu loss aversion, kengganan kehilangan. Bias ini adalah pandangan umum yang enggan hilang sejumlah uang padahal ditawari potensi mendapatkan uang yang setara atau lebih banyak. Saya nggak mau hilang Rp500 ribu, maka biarin aja ada potensi untung Rp500 ribu-Rp1 juta. Mending duitnya disimpan di dompet.

Anggapan itulah yang saya kira sudah dicap di instrumen investasi saham. Saham berisiko tinggi. Maka orang enggan menyentuh. Tak mau mempelajarinya. Sering saya dengar, atas dasar “risiko” saham yang tinggi, maka orang memutuskan tidak berinvestasi saham, atau minimal alokasi investasi saham lebih sedikit. Padahal sangat disayangkan, mengingatkan besarnya potensi saham. Untuk itulah saya mengajak melihat kembali pandangan kita akan risiko saham ini.


Baca juga: Mengenal Saham


Risiko Sesungguhnya yang Kita Hadapi

Jika yang dimaksud risiko saham yang tinggi adalah fluktuasi harganya, yang tingkatnya tak pasti, yang waktunya tak jelas kapan terjadi, semua itu benar. Kita sepakat dan paham saham ada risiko ini. Sebuah saham bisa naik 10%-50%, atau bisa turun -5% hingga entah berapa, tanpa ada pengumuman yang jelas seperti padamnya listrik di negeri ini.

Sekarang, saya mohon Anda hentikan dulu memikirkan risiko yang dimaksud seperti di atas. Kita akan bahas nanti. Janji.

Mari berpikir ada risiko lain yang sebenarnya sangat jelas. Risiko itu bernama inflasi. Selama 10 tahun, terakhir inflasi Indonesia sekitar 6% per tahun, atau akumulasi kenaikan sebesar 77,46%. Artinya harga barang Rp1 juta akan menjadi Rp1.774.605 setelah 10 tahun.

Inflasi ini sangat jelas terjadi. Inflasi menyerang siapa saja. Seperti takdir. Dia akan hadir.

Baca: Inflasi Indonesia 10 Tahun

Sekarang, jika uang Anda pasti rugi 6% per tahun, bagaimana memeranginya? Tentu saja investasi. Menabung. Membiakkan uang. Apa saja deh, asal lebih bisa untung 6% sehingga kita bisa terjamin membeli barang yang sama. Tanpa investasi yang menghasilkan keuntungan lebih banyak maka fatal akibatnya.

Jika uang itu kita simpan di bawah bantal, jelas akan rugi.

Jika uang itu kita simpan di rekening bank yang menjanjikan bunga antara 1%-2% per tahun, tentu saja masih sia-sia.

Jika uang itu kita simpan di deposito dengan janji bunga sekitar 3%-4%, masih buntung pula, dong?

Jika uang itu kita belikan sukuk yang ditawarkan pemerintah dengan bunga maksimum 6%, nah ini masih mending, uang Anda masih terjaga.

Jika Anda investasi properti, menurut data indeks harga  properti Bolasalju selama 10 tahun terakhir cuma 4,67% per tahun atau akumulasi total 65,16%. Jelas masih kalah juga.

Bagaimana kalau uang itu diinvestasikan di instrumen yang menawarkan peluang lebih banyak? Menurut saya Anda sudah berpikir tepat. Seharusnya begitu.

Baca: Sejarah Kinerja IHSG 10 Tahun

Tapi apa? Emas? Maaf saya belum menerbitkan datanya, hehe… Saham? Wah, saham lagi? Kenyataannya dalam 10 tahun IHSG menghasilkan laba total 192,11% atau laba majemuk 11,62% per tahun bagi investornya. Uang Rp1 juta akan berkembang jadi Rp2,92 juta rupiah. Jauh melebihi inflasi, kan?

Maka kita harus hadapi risiko saham, jika itu ada. Kita juga harus pahami risiko saham yang katanya tinggi itu.

Apa Risiko Saham yang Sesungguhnya?

Di buku Cerdas Berinvestasi, kami menjelaskan risiko investasi saham sebagai berikut:

investor punya risiko kehilangan sebagian investasinya jika harga sahamnya turun. Investor saham juga punya risiko kehilangan seluruh investasinya jika perusahaan bangkrut. Dalam likuidasi perusahaan yang bangkrut, prioritas pengembalian aset perusahaan adalah pembayaran utang ke kreditor. Jika ada sisa, baru dibagikan ke investor

Risiko kehilangan sebagian investasinya disebut juga risiko capital gain. Anda beli saham seharga Rp1 juta. Setelah setahun nilainya jadi Rp800 ribu. Anda berisiko kehilangan Rp200 ribu jika Anda menjual saham itu.

Risiko likuidasi atau kebangkrutan juga mungkin terjadi jika perusahaan yang punya beban keuangan tinggi terpaksa harus bangkrut. Dalam kasus ini maka investor punya risiko kehilangan seluruh uangnya.

Wah seram ya? Melihat dua hal ini memang risiko saham tinggi sekali. Tapi, mari berpikir sejenak, bukankah risiko ini terpapar pula jika kita mencoba usaha apa pun, apakah itu: jual-beli, mencoba usaha kecil, dan lain-lain. Semua risiko itu ada.

Maka kembali lagi, kita harus fokus pada dua risiko tadi. Jika tujuan kita adalah untuk memerangi inflasi, dan saham adalah kendaraan kita, lalu bagaimana menghadapi dua risiko tadi?

Menghadapi Risiko Perusahaan Bangkrut

Pertama kita akan bahas dulu risiko perusahaan bangkrut. Sebab kebangkrutan bervariasi: ada yang karena usahanya tiba-tiba tidak menguntungkan, kompetisi meningkat sehingga laba tertekan terus menerus, bencana, sengketa dan dikenakan denda tinggi, atau salah satu sebab yang jelas dan sering terjadi karena tingginya beban keuangan (utang). Yang jelas banyak kasus kebangkrutan karena laba tidak berhasil membayar utang. Jika perusahaan tak utang pasti tak bangkrut (mengabaikan hal lain misal masih laba atau tidak).

Jika Anda paham beberapa ilmu analisa keuangan, ada banyak teknik untuk melihat potensi kebangkrutan. Silakan dipelajari dan dilihat keuangan perusahaannya sebelum mengambil keputusan investasi. Jika keuangan kuat, maka risiko pertama ini seyogyanya bisa dihindari.

Jika Anda investor awam, silakan cari data atau riset dari sumber akurat yang bisa memberi informasi kekuatan keuangan perusahaan ini. Beberapa indikatornya adalah rasio utang jauh lebih sedikit dibanding asetnya, lebih baik lagi bunga utangnya jauh lebih sedikit dibanding laba atau kas dari operasinya.

Jadi jelas, salah cara mengurangi risiko kebangkrutan bagi pemegang saham publik adalah mencari saham perusahaan yang struktur keuangannya kuat.

Menghadapi Risiko Kehilangan Modal

Kehilangan modal umumnya terjadi karena harga saham turun. Jika saham turun, maka investor dikatakan kehilangan sebagian modal. Karena tak mungkin nilai saham Rp0, kecuali bangkrut alias risiko sebelumnya tadi. Namun, jika investor tidak menjual sahamnya, maka investor belum kehilangan modal. Jadi bisa dipahami ya?

Grafik saham UNVR sejak 2003 sampai sekarang. Saham UNVR telah melewati masa krisis keuangan 2008 dan beberapa kali penurunan bursa.
Grafik saham UNVR sejak 2003 sampai sekarang. Saham UNVR telah melewati masa krisis keuangan 2008 dan beberapa kali naik turun sepanjang 15 tahun terakhir. (Klik untuk versi besar) Grafik dari Yahoo Finance

Di sisi lain, selain turun, saham juga punya hobi naik, seperti roller coaster. Contoh yang jelas, silakan pelajari grafik harga saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), produsen kosmetika dan barang rumah tangga yang terkenal. Ada banyak fluktuasi naik-turunnya saham. Tengok periode parah pada 2007 dan 2013. Naik turunnya harga saham ini dinamakan fluktuasi saham.

Di sinilah. Namanya manusia. Ada yang takut karena telah turun -10%, mereka panik menjual sahamnya. Sudah turun euy! Nanti bisa turun -50% bagaimana? Om Bolasalju mau tanggung? Ya jelas nggak lah. Risiko investasi itu tanggungjawab ya sendiri hehe…

Saya akan bantu mengajak berpikir dengan cara lain.

Anggap saja membeli dan menyimpan saham sebuah perusahaan kuat, menghasilkan laba dari tahun ke tahun, produknya terkemuka dan dikonsumsi seluruh Indonesia. Anda suka perusahaan seperti ini? Ingat, membeli saham adalah memiliki perusahaan. Pasti suka, ya?

Panik atas penurunan sementara saham adalah cara berpikir yang salah.

Bagaimana jika Anda biarkan saja? Cuek bebek.

Yang benar, om, bagaimana bisa yakin harga sahamnya bisa balik lagi atau untung? Atau, minimal balik modal?

Saat turun -10% itu, apakah Anda sudah kehilangan uang? Belum. Nah di sini pentingnya fokus kita, Anda belum kehilangan uang, meskipun di atas kertas, eh di layar, Anda sudah minus. Anda belum kehilangan uang jika tidak menjual saham. Ini penting dipahami.

Jika tidak dijual, setelah sahamnya naik lagi, maka investasi Anda masih ikut tumbuh. Apalagi ada potensi dividen. Lihat di grafik UNVR di atas, simbol D adalah saat dividen dibagikan ke pemegang saham. Setiap tahun ada dividen. Kupon dividen perusahaan besar di Indonesia umumnya sekitar 2%-an bahkan ada yang membagikan lebih dari bunga deposito. Seiring waktu, jika laba naik, bisa ditebak jumlah dividen yang diterima ikut naik. Setiap tahun.

Harga saham adalah seperti timbangan. Harganya—jauh dikit, minimal—mengikuti perkembangan bisnisnya. Jika bisnis bagus, dia naik. Jika bisnis jelek, dia turun. Uniknya fluktuasi harga kadang tidak ada relevansinya dengan bisnis perusahaan. Ya begitulah cara orang mengoper kepemilikan perusahaan secara global.

Sekarang perusahaan Anda bagus kan? Ya. Keuangan kuat? Ya juga sih. Lalu apa yang dikhawatirkan?

Maka jika seseorang meluangkan waktunya untuk mengecek kualitas perusahaan, saya berani jamin dia tidak akan kehilangan uang. Dengan asumsi perusahaan bisa menjaga kualitas usahanya terus lho ya. Jika nasib perusahaan berubah arah karena keputusan manajemen yang salah, resesi yang menghantam seluruh perusahaan, ya semua bisa terjadi. Tapi ingat, jika resesi, semua hal juga akan terkena. Bahkan bisnis dan pekerjaan Anda. Jika kasus manajemen, hal itu sangat jarang terjadi untuk beberapa perusahaan bagus dan besar.

Maka umumnya, agar aman, seseorang investasi di beberapa saham sebagai upaya diversifikasi. Tapi jangan berlebihan. Pilih beberapa yang berkualitas dan menguntungkan dengan produk yang bagus.

Saya percaya Anda tak akan kehilangan uang di saham jika memakai cara aman seperti ini.

Dalam Jangka Panjang, Fluktuasi Harga Saham Tak Ada

Baca artikel tentang fluktuasi saham ini. Jika perspektif Anda jangka panjang, ketika Anda beli saham dan Anda tahunya harga akhir saat ingin menjualnya, maka fluktuasi itu tidak ada.

Gampang banget omongnya ya om? Padahal pasti susah menjalaninya. Iya sederhana, kok.

Saya ambil contoh saham PT Unilever Tbk (UNVR) tadi. Lihat di grafik di atas. Pada akhir 2007 saham UNVR ditutup di harga Rp6.750 per lembar. Hari ini, 22 Maret 2018, saham UNVR ditutup di harga Rp50.750, telah naik 7,5 kali lipat atau 651,85% atau 20,13% per tahun jika disetahunkan. Uang Rp1 juta akan menjadi Rp7,5 juta. Dana Rp100 juta akan jadi Rp750 juta. Ini belum menghitung perolehan dividen yang total akumulasinya lebih dari 10% sendiri.

Lalu mana fluktuasi itu? Tidak ada, kan?

Ya, tapi, ini kan UNVR. Bagaimana kalau saham lain yang kecil-kecil? Yang bangkrut. Lho, jangan bicara yang keuangannya jelek. Mari diskusi yang keuangan terbukti baik, menguntungkan, produknya bagus, dan manajemennya oke.

Dengan asumsi sama. Maka saya kira, jika perspektif investasi jangka panjang, sudah jelas fluktuasi itu tidak ada.

Ini bukan saran investasi ke UNVR. Meskipun saya tahu UNVR perusahaan yang bagus. Apalagi untuk membeli saham UNVR minimal 1 lot (100 lembar) sudah harus merogoh kocek Rp5 juta sendiri. Anda harus hati-hati memilih saham yang berkualitas.

Dalam Jangka Panjang Saham Tidak Berisiko

Seperti intisari cerita di atas, agar investor tidak terpapar risiko yang mungkin terjadi, perspektif investasi harus jangka panjang. Dalam masa 3-5 tahun bahkan 7 tahun bisa saja kinerja saham mengalami minus, entah karena masa resesi keuangan global atau sentimen pasar yang negatif di pasar saham.

Asal investor menjaga seluruh kriteria pemilihan saham yang ketat, saya yakin risiko-risiko di atas tidak terjadi. Dan asal tidak buru-buru menjual investasinya saat masa penurunan sementara, investor tak akan kehilangan uangnya.


Dari 10 saham yang diuji di riset kami yang dimuat di Hasil Simulasi Investasi Berkala Di 10 Saham Selama 10 Tahun Menghasilkan Perolehan Lebih Baik Dibanding Reksadana dan Bisa Mengalahkan Inflasi, semuanya menghasilkan keuntungannya positif dalam masa 10 tahun. Padahal ini dilakukan dengan investasi nyicil dan sederhana setiap bulan. Semuanya bisa mengalahkan inflasi. Masa pengujian telah melewati masa krisis dan periode penurunan bursa yang mengkhawatirkan hingga IHSG pernah turun -50% dalam setahun. Untuk itulah saya berani menyarankan metode berkala bagi umum setelah melihat data ini.

Perlu diingat, asumsi tidak jual ini dengan kondisi investor tidak membeli saham dari dana utang. Jika utang maka hal itu tidak relevan. Seseorang berutang pasti terpapar risiko mengembalikan bunga utang. Apalagi jika utang diperoleh dari fasilitas margin. Bencana.

Maka dengan demikian, jika kita lihat kembali seluruh fakta dan bukti yang ada, kesimpulan saya “risiko” tinggi saham itu sesungguhnya tidak ada. Bisa dikatakan semu. Seandainya Anda keukeh, saklek, taat pada azas investasi yang benar, mengikuti petunjuk mencari perusahaan yang baik, kuat keuangannya, menguntungkan usahanya, dan produknya bagus—maka saya kira saham adalah instrumen investasi yang tepat untuk menghadapi risiko inflasi dengan cara yang paling mudah.

Apa Anda setuju risiko tinggi saham sesungguhnya hal semu?


Kredit foto: photocollections.io - Creative Commons License


Diterbitkan: 22 Mar 2018Diperbarui: 18 Feb 2022