Alokasi porsi investasi saham yang kurang ideal bisa mengancam keuangan di masa depan.

Well, semua diskusi ini tidak ada benar atau salah. Kami juga tidak berani menyarankan mana yang paling benar atau paling salah. Kita diskusi ilmu saja.

Ada dua pendekatan umum untuk alokasi porsi portofolio investasi.

Pendekatan psikologi mengatakan alokasi yang lebih nyaman psikologinya. Pendekatan ini ternyata sering diungkap oleh banyak orang di media sosial.

Kami melihat mayoritas menyisihkan sedikit sekali instrumen di saham. Mungkin hanya sekitar 30% saja. Sisanya RDPU, RDPT, obligasi/sukuk ritel, dll.

Sekali lagi, pilihan di atas tidak salah. Terlebih jika alokasi perencanaan keuangan seseorang ternyata sudah mencukupi dengan rencana yang seperti itu. Jika kondisi tersebut ternyata cukup, maka go for it. Itu masih ideal.

Tapi pendekatan 30% elemen ekuitas/saham saja mungkin terlalu konservatif jika menurut kalkulasi perencanaan keuangan tidak mencukupi.

Bagaimana mungkin seseorang mempertahankan rencana keuangan yang underfunded dan peluang earning power-nya, baik dari income atau passive, kurang mencukupi di masa depan.

Salah seorang pakar alokasi portofolio, Harry Markowitz, punya teori yang rumit tentang porsi investasi. Tapi di dunia nyata, beliau pribadi lebih memilih alokasi 50:50. Separuh portofolio berbasis ekuitas. Separuhnya lagi instrumen pasar uang atau obligasi.

Porsi 50:50 memang kondisi yang cukup oke. Bahkan Ben Graham, mahaguru value investing, juga menyarankan porsi alokasi portofolio investasi seperti ini. Padahal kita tahu Graham dikenal pandangannya yang cukup paranoid karena pernah mengalami masa suram depresi besar di tahun 30-an. Jadi pandangan Graham masih konservatif.

Di sisi lain, Ben Graham menyarankan investor juga bersikap dinamis saat pasar di kondisi rendah untuk menyesuaikan porsi sahamnya. Artinya menambah.

Jika pasar mengalami kondisi “bullish” atau naik, Graham menyarankan mengurangi porsi sahamnya.

Saran Graham ini pasti berbeda dengan saran pelaku pasar yang cenderung jangka pendek. Saran Graham ini pasti juga tidak akan Anda jumpai disampaikan oleh pengamat di media massa umum.

Kenapa Graham menyarankan seperti itu? Sebagai praktisi dan juga pelopor analis modern yang kemudian menjadi cikal bakal sertifikasi Chartered Financial Analyst (CFA), Ben Graham percaya di jangka panjang pasar saham akan memberi “reward” yang sepadan bagi mereka yang percaya.

Mereka yang punya posisi sedikit di pasar saham dikhawatirkan tidak bisa memanen potensi masa depan pasar saham yang selalu memberi reward lumayan saat ekonomi tumbuh dan berkembang.

Strategi di atas masih cocok untuk investor umum. Graham juga punya pandangan porsi berbeda bagi mereka yang sudah punya pengalaman lama di pasar modal saat mereka pensiun. Tapi secara umum, nasihat Graham juga masih konservatif, meski masih agak terasa agresif.

PR selanjutnya adalah memilih saham-saham perusahaan yang baik, emiten yang konservatif, aman, punya produk/jasa terkemuka dan potensial di jangka panjang, serta dikelola oleh manajemen yang mumpuni. Riset Bolasalju bisa membantu Anda di sini.

Namun, dari itu semua, hal paling penting adalah pemahaman tentang karakter pasar modal yang memang fluktuatif. Bagaimana potensi pasar saham dalam jangka panjang. Serta bagaimana investor umum bisa mencapai tujuannya di masa depan secara aman, konservatif, meski menghadapi risiko pasar seperti itu. Jangan terburu-buru mengubah alokasi investasi tanpa adanya keyakinan dan pemahaman yang menyeluruh disertai bukti-bukti yang nyata.

Ketakutan dan kesalahan porsi alokasi juga mengurangi nilai masa depan. Kecakapan mengelola alokasi portofolio investasi bisa mengubah masa depan keuangan seseorang. Posisi ideal bisa memberi keuntungan yang optimum. Keputusan yang baik bisa mengubah kondisi yang kurang bagus menjadi jauh menguntungkan.

Sumber bacaan: The Intelligent Investor


Diterbitkan: 8 Aug 2024Diperbarui: 8 Aug 2024